blank
Ilustrasi.

Oleh : Abdul Kholiq Nur

Saat sekarang ini banyak orang tua memberikan curahan kasih sayang pada anak-anaknya dalam bentuk limpahan materi. Memenuhi kebutuhan gizi anak, dengan menyajikan makanan sehat plus uang jajan berkecukupan.

Menyekolahkan di sekolah terbaik, diukur dengan mahalnya biaya masuk serta sulitnya proses seleksi yang harus dilalui. Mengisi waktu bersama anak, artinya adalah menyediakan paket-paket liburan yang eksotik pada destinasi dalam negeri, maupun kunjungan ke luar negeri. Menjaga komunikasi dengan anak, artinya adalah membekali anak gagdet terbaru dengan spesifikasi ter-update.

Di balik itu semua pemenuhan kebutuhan di atas harus ditebus dengan kerja keras. Para ayah membanting tulang siang malam demi terpenuhinya impian membagiakan keluarga. Di kota-kota besar ayah harus pergi dini hari, di saat anak masih tertidur lelap demi menghidari kemacetan menuju tempat kerjanya.

Ayah pulang larut malam, saat anak-anak sudah tertidur pulas. Banyak anak-anak yang kehilangan figure ayahnya sebagai contoh yang patut diteladani. Banyak dari para ayah Indonesia merasa selesai tugas dan kewajiban setelah memberikan nafkah berupa materi untuk kehidupan keluarganya.

Banyak orang tua yang mencukupkan peran pengasuhan anak  pada sosok ibu, termasuk dalam pengasuhan anak laki-laki. Akibat ayah yang tidak hadir, maka anak laki-laki lebih lekat dengan ibunya. Ketika memasuki masa pencarian identitas diri, dan peran ayah tidak juga signifikan, maka anak akan kekurangan model identifikasi untuk menjadi lelaki.

Bagaimana dengan anak perempuan? Kehangatan kasih sayang ayah yang kurang nyata akan membuat anak-anak perempuan ini merasakan kurangnya kasih sayang lawan jenis, khususnya dari sang ayah. Anak akan kehausan rasa kasih sayang. Anak kemudian mudah merasa depresi; mudah jatuh cinta pada laki-laki lain yang belum tentu memiliki niat baik ketika memasuki usia remaja; atau kedekatan yang selama ini terjalin dengan sosok ibu akan membuat anak perempuan merasa asing dengan sosok lak-laki dan merasa lebih nyaman berinteraksi dengan sesama jenis.

Terjadi banyak kasus dimana keluarga yang satu rumah namun tidak pernah ada komunikasi. Komunikasi yang benar-benar komunikasi, bukan hanya sekedar bicara. Saat ini banyak keluarga yang terjangkit fenomena anak lapar ayah (father hunger atau fatherless).

Fenomena ini muncul karena sang ayah kurang banyak berperan dalam pendidikan dan pengasuhan anak di usia dini 0-5 tahun atau usia emas (golden age) sehingga seorang anak lelaki menjadi feminim. Hal ini berlaku juga sebaliknya, anak perempuan menjadi tomboy karena berusaha menggantikan peran ayahnya terhadap ibunya.

Kurang perhatian dan kelekatan dari sosok ayah kepada anak lelakinya (tidak hanya fisik namun hadir juga ssecara figur nyata) akan membuat sang anak akan memiripkan diri atau copy paste dengan peran ibunya. Jika anak laki-laki lebih dekat dengan ibunya, ia bisa keliru mengidentifikasi diri.

Ibu dan ayah memiliki karakteristik berbeda. Hal ini diperparah dengan keengganan orang tua untuk mendidik secara mandiri dengan menyerahkan ke lembaga pendidikan anak usia dini, dengan guru di Taman Kanak-kanak atau PAUD yang mayoritas dipegang oleh perempuan.

Hal ini menambah perbendaharaan daftar figure atau role model perempuan untuk ditiru anak laki-laki. Kehadiran sosok ayah yang minim dalam pengasuhan anak saat tahapan perkembangan akan membuat anak laki-laki terus mencari kasih sayang ayah atau laki-laki sepanjang hidupnya.

Ketika memasuki usia remaja anak akan mengalami krisis identitias diri, termasuk krisis gender (jenis kelamin) bila dibesarkan dalam pola asuh yang timpang ini. Anak laki-laki tidak merasakan bangganya menjadi seorang ksatria yang mewarisi semangat pahlawan. Anak perempuan bersikap dingin kepada laki-laki, karena sentuhan kasih sayang minim dari sang ayah selama ini.

Fenomena yang menyesakkan, serta menjadi mengerikan, manakala hanya dalam satu langkah saja jeratan LGBT akan dengan mudah memangsa anak-anak manis ini. Propaganda perekrutan oleh kaum LGBT saat ini secara massif telah menyentuh ranah media sosial, bahkan kelompok LGBT juga sudah menjalar ke kampus, sekolah dan tempat umum lainnya.

Berbagai survei independen dalam dan luar negeri menyebutkan bahwa di Indonesia ada 3% kaum LGBT dari total penduduknya. Maraknya fenomena LGBT di Indonesia sangat terkait dengan tren negara-negara liberal yang memberikan pengakuan di masyarakatnya.

LGBT dianggap sebagai bagian life style dari masyarakat modern yang mengangap pandangan heteroseksualitas sebagai konservatif dan tidak berlaku bagi semua orang. Situasi itulah yang kemudian membuat gerakan LGBT menyebar sedemikian pesat di belahan dunia manapun sebagai epidemi sosial.

Langkah agar anak tumbuh sesuai kodratnya, ayah mesti terlibat aktif dalam pengasuhan anak. Ayah harus memberikan perhatian penuh pada anak laki-lakinya. Bukan sekadar menanyakan pengalaman harian si kecil, ayah juga mesti sering bermain dengannya.

Ayah bertugas mengajari anak lelakinya untuk shalat. Dia pula yang mestinya menemani si anak belajar dan makan bersamanya. Tutup laptop, matikan handphone, sejenak tinggalkan pekerjaan, dan mulai dekatkan diri dengan anak, terutama anak laki-laki.

Anak laki-laki yang kurang dekat dengan ayahnya cenderung lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan. Andaikan dipergaulannya terdapat teman yang berorientasi seksual menyimpang, anak tidak pakem remnya untuk tidak mengikuti. Untuk memulihkan anak kepada kodratnya, masyarakat dan orang tua harus bersedia mengambil peran.

Anak yang sudah terpengaruh pada perilaku seksual menyimpang memerlukan psikoterapi untuk mengembalikan anak pada kelaki-lakiannya. Selain itu, banyak hal lain yang dapat dilakukan. Di antaranya menjauhkan anak dari pertemanannya, mengganti aktivitasnya, dan modifikasi lingkungan.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Unissula dan juga psikolog dari SDM Polri Polda Jateng.