blank
Shin Tae-yong (tengah), memberikan instruksi kepada anak-anak asuhnya saat mengadakan pemusatan latihan di Bali. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// untuk siapakah tiap tarikan napasmu?/ untuk siapa setiap gerak kakimu?/ untuk siapa pula pikiranmu?/ seluruh tubuh dan ideku/ dia bahasa kebersamaan/ dia hak karyaku/ dia hak karyamu/ tegaskanlah: aku adalah kita//
(Sajak “Ego-ego Sepak Bola””, 2023)

ILIJA Spasocevic sudah bergerak seirama dengan Ricky Kambuaya yang mendribel bola dalam bayangan seorang bek Filipina. Spaso sudah dalam posisi siap menerima umpan di depan gawang Filipina, namun apa yang terjadi? Ricky memilih terus menggiring bola, yang akhirnya malah bisa diamankan bek lawan. Peluang emas pada menit ke-86 itu pun melayang percuma!

Bukan hanya Spaso yang kecewa. Raut geregetan juga ditunjukkan pelatih Shin Tae-yong. Dari awal dia mendoktrinkan banyak gol untuk menjaga peluang bersaing dengan Thailand dalam selisih produktivitas, sehingga bisa mengamankan posisi juara Grup A Piala AFF.

Insiden itu sekali lagi membuktikan pemain kita masih dihinggapi fenomena egoisme menyikapi peluang.

Dalam “struktur kans”, setidak-tidaknya tergambar tiga sikap yang seharusnya diputuskan oleh seorang pemain. Pertama, peluang emas yang memang “milik” dan sepatutnya dituntaskan oleh pemain. Kedua, dia mendapat kans emas, tetapi ada kawan yang berposisi lebih leluasa lagi, sehingga lebih pas apabila bola yang dia kuasai disodorkan sebagai assist kepada rekannya.

Ketiga, dia memaksa membawa bola meskipun sudah dalam posisi sulit, dan pada saat itu melihat kawan yang bisa membantu dan menanti sodoran bolanya. Akan tetapi hal itu tidak dia lakukan, sehingga bola pun hilang percuma, berpindah ke kaki lawan.

Filosofi Cruyff
Saya ingat filosofi Johan Cruyff, maestro sepak bola menyerang yang meletakkan dasar-dasar etos simplifikasi kolektivitas di Akademi La Masia, Barcelona. Sepak bola, kata Cruyff, adalah permainan yang sederhana. Namun hal paling sulit dari permainan itu adalah bagaimana bermain sederhana.

Ricky Kambuaya adalah contoh, seperti juga beberapa kali diperlihatkan Egy Maulana Vikri di Piala AFF kali ini. Keduanya tidak melakukan hal “sederhana” untuk menciptakan hasil lebih produktif, akan tetapi malah memutuskan tindakan rumit.

Sepak bola adalah permainan kolektif. Apabila ada keyakinan untuk melakukan keputusan personal dalam mengeksekusi tindakan, hal itu harus dimodali kemampuan di atas rata-rata. Kalau Anda punya skill individu sekelas Lionel Messi atau Ronaldo Luis Nazario, silakan terobos dua-tiga pemain yang membuat barikade, dan Anda yakin bisa lewat.

Kalau tidak yakin akan hal itu, sikap kolektif-kolegial mengajarkan tentang filosofi “berbagi”. Berikan, sodorkan, arahkan, karena produk dari keputusan itu memberikan manfaat bersama kepada tim, bukan sekadar untuk “tebar pesona” yang akhirnya malah menguapkan peluang.

Anak-anak Tim Garuda mestinya bisa belajar dari sejumlah momen ketidakproduktifan sikap egoistis sejumlah pemain, yang “dipuncaki” oleh Ricky Kambuaya dalam laga melawan Filipina.

Di luar sikap egois sejumlah pemain, Shin Tae-yong menghadapi beberapa soal. Pada sebagian hal dia sudah bisa mentransformasikan perubahan. Dalam sejumlah diskusi saya selalu memberikan contoh performa Fachrudin Ariyanto dkk saat mengalahkan tuan rumah Kuwait 2-1 dalam Pra-Piala Asia di Kuwait City, 2022. Walaupun kalah 0-1 dari Yordania, Garuda tampil impresif, memperlihatkan ketangguhan mental, dan dalam laga selanjutnya menundukkan Nepal 7-0.

“Penyakit menahun” diperbaiki oleh coach Shin, antara lain problem daya tahan fisik ditambah intervensi asupan makanan. Lalu transisi permainan, yakni “persambungan” konsistensi dari menyerang dan diserang (bertahan), begitu pula sebaliknya. Juga ketidakfokusan menghadapi tendangan bebas dari situasi bola mati. Tak jarang, timnas kecolongan gol dari momen-momen seperti itu.

Kesalahan umpan yang pada segi-segi tertentu memerlihatkan kondisi “bingung” ditekan lawan, beberapa kali menerbitkan situasi sulit. Seperti proses lahirnya gol balasan Thailand di Grup A. Asnawi Mangkualam, yang notabene tertempa oleh atmosfer Liga Korea, membuat back pass lemah yang mempersulit Fachrudin. Bola direbut oleh Adisak Kraisom, yang menyodorkannya ke Bordin Phala. Bordin mengumpan ke Sarach Yooyen, yang dengan tendangan keras membobol gawang Nadeo Argawinata.

Tak sekali-dua situasi rawan dipicu oleh salah umpan. Dalam transisi antara menyerang ke bertahan situasi itu sering terjadi.

Gestur Kecewa STY
Benarkah kekurangproduktifan timnas di Piala AFF — setidak-tidaknya dari jumlah peluang yang diciptakan — antara lain disebabkan oleh penyakit-penyakit itu?

Beberapa kali, Si “Dokter Korea” memperihatkan gestur kekecewaan. Misalnya ketika Hansamu Yama Pranata membuang peluang emas di depan gawang Brunei Darussalam, sejumlah kans Egy Maulana Vikri dan pengambilan keputusan Egy antara menggiring atau mengumpan, ketika Witan Sulaeman gagal memanfaatkan peluang ke gawang Thailand yang sudah kosong, dan terakhir Ricky Kambuaya memilih tidak memberi umpan ke Ilija Spasojevic yang sudah dalam posisi siap.

Ego yang tidak terkelola oleh pemahkotaan kolektivitas, pengambilan keputusan yang kurang bervisi kepentingan tim, dan salah umpan akut, adalah bagian dari “penyakit menahun” yang membutuhkan terapi kuat.

Dengan materi pemain yang dimiliki STY sekarang, apabila sebagian diagnosis penyakit itu bisa diterapi, rasanya kita cukup memiliki modal untuk bertarung dan berbicara di level Piala AFF.

Penanganan penyakit itu membutuhkan kerja sama penuh chemistry antara “sang pasien” dengan dokternya. Sepintar apa pun sang dokter, apabila si pasien tidak konsisten berdisiplin, terapi hanya akan berjalan sepihak.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah