Oleh : Ariyanto Muhammad Toha, M.Pd.
Tidak ada manusia yang tidak melakukan kesalahan, begitu juga seorang murid. Entah disengaja atau tidak, baik pada dirinya sendiri, pada teman-temannya, pada guru, pada orang tua, dan pada ekosistem sekolah. Hanya saja kita sebagai pendidik lebih sering menggunakan cara-cara yang cenderung frontal yang berakibat negative pada anak secara jangka panjang. Sedikit sekali pendidik yang memiliki kompetensi mengenai problem solving terkait studi kasus yang dihadapinya.
Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma sebagaimana petani memelihara tanaman padi, seperti itu pula pendidik menuntun murid agar menjadi pribadi yang sesuai dengan profil pelajar Pancasila. Dalam modul 1.4 pendidikan guru penggerak, terdapat kajian-kajian mengenai disiplin positif, budaya positif yang ditanamkan sejak dini sehingga tumbuh kembang murid menjadi lebih siap menghadapi tantangan zaman.
Salah satu kajian dalam modul 1.4 yaitu segitiga restitusi. Menurut Gossen (2004), Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat.
Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Terdapat perbedaan signifikan antara restitusi dengan program disiplin lainnya, diantaranya ; restitusi bukan untuk menebus kesalahan melainkan untuk belajar dari kesalahan, restitusi memperbaiki hubungan, restitusi merupakan tawaran dan bukan paksaan, restitusi menuntun murid untuk melihat ke dalam diri, restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan, restitusi diri ialah cara yang paling baik, restitusi focus pada karakter bukan tindakan, restitusi menguatkan, restitusi focus pada solusi, restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya.
Untuk menerapkan restitusi dalam bentuk demonstrasi kontekstual, pendidik perlu memperhatikan lima kebutuhan dasar manusia dan lima posisi kontrol. Kedua elemen tersebut tidak dapat terpisahkan ketiga pendidik menghadapi permasalahan terkait muridnya.
Seluruh tindakan manusia tentu memiliki tujuan tertentu dan bahwa apa yang kita lakukan merupakan usaha terbaik untuk kita dapatkan sesuai keinginan kita. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan maka artinya bahwa kebutuhan dasar kita telah terpenuhi.
Apa saja kebutuhan dasar manusia ?. bertahan hidup (survival), diterima dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Sedangkan lima posisi kontrol yang perlu diketahui pendidik adalah sebagai penghukum, pembuat merasa bersalah, sebagai teman, sebagai pemantau, dan sebagai manajer.
Berikut gambaran demonstrasi kontekstual sebuah restitusi oleh penulis di sekolah yang bergenre boarding school. Sebelum KBM dimulai, seperti biasa seluruh murid berbaris rapi di depan asrama pondok untuk apel dan berdo’a bersama kemudian dilanjutkan salat dhuha di masjid.
Ketika bel berbunyi menandakan bahwa murid sudah saatnya masuk kelas dan pada jam pertama pelajaran bahasa Indonesia telah ada budaya positif salam masuk kelas ketika murid memasuki ruang kelas dengan memilih salah satu gambar salam sesuai keinginan mereka.
Satu persatupun masuk dengan lebih dulu memilih salam masuk kelasnya masing-masing kemudian memperagakan salam tersebut bersama gurunya di depan pintu kelas. Setelah masuk kelas, ternyata ada salah satu murid yang datang terlambat namanya Zidan.
Zidan mengucapkan salam ketika pintu kelas sudah tertutup dan berjalan menuju guru untuk menjelaskan perihal keterlambatannya dan guru mempersilakan Zidan untuk mengutarakan alasannya terlambat. Apa yang dilakukan guru yaitu memberikan ruang atau kesempatan kepada murid untuk mengutarakan alasan keterlambatannya termasuk dalam posisi kontrol sebagai manajer.
Terhukum dan merasa bersalah tidak ditemui oleh Zidan walau sudah kesekian kalinya ia terlambat masuk kelas. Zidanpun memberanikan diri mengungkapkan keterlambatannya masuk kelas bahkan tidak ikut apel dan do’a bersama di depan asrama pondok karena antre paling akhir saat mandi dan kehabisan air, sehingga menunggu air dari penampungan hingga mengalir ke kran di kamar mandinya. Guru mengingatkan Zidan akan keyakinan kelas dan Zidanpun mengerti bahwa murid yang terlambat tentu ada konsekuensinya dan sudah diatur sesuai kesepakatan kelas sehingga Zidan akan memperbaiki kesalahannya.
Posisi kontrol seorang guru sebagai manajer lebih luas jangkauannya karena selain sebagai pemantau, guru juga bertidak sebagai teman. Posisi kontrol sebagai manajer akan lebih memfokuskan pada murid untuk melakukan perbaik diri. Murid sudah mengetahui bahwa ia salah (terlambat) dan ada konsekuensi yang harus ia tanggung dan ia menerimanya.
Guru berusaha mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya tentu dengan bimbingan guru. Hal perbaikan untuk menghindari terlambat diantaranya Zidan berusaha untuk antre mandi lebih awal dan tidak membuang-buang waktu untuk mengobrol dengan hal yang tidak berguna bersama teman-temannya sehingga terlewatkan antrean.
Penulis adalah Guru di SMP Muhammadiyah Asy Syifa’ Blimbingrejo dan Calon Guru Penggerak Angakatan 7 Kabupaten Jepara