Oleh : Sunardi KS
Membaca tulisan-tulisan Alie Emje, di buku yang diberi judul Sonya, tentu sama juga dengan membaca tulisan-tulisan penulis lain, pengarang lain, penyair lain, atau siapa pun itu, di buku-bukunya masing-masing. Kalau menghadapi bentuk tulisan-tulisan yang sekiranya agak lain, agak aneh, tidak seperti layaknya di media-media cetak (atau kalau sekarang juga ada media online) maka pembaca akan mudah terbelah yang menyiasatinya. Sebagian atau seseorang yang satu akan termangu mengatakan atau menanyakan kepada dirinya sendiri ; Ini puisi atau bukan? Yang satu bagian lain akan tetap bersikukuh bahwa ini adalah puisi-puisi.
Lalu bagian mana yang benar menyikapinya, pemahamannya? Tentu kedua belah pihak sama benar. Tidak ada pihak yang salah. Puisi atau tulisan sebentuk apa pun yang menyerupai puisi yang imajis seperti puisi, bisa dikatakan puisi atau sejenis puisi. Kasus semacam ini seringkali terjadi. Buku Catatan Pinggir karya Goenawan Mohamad pernah juga mengalami peristiwa yang sama,
Catatan Pinggir itu ada yang meragukan sebagai (sekedar essay) tetapi diakui si penafsir sebagai puisi baru Goenawan Mohamad. Tentu juga ada yang bersikukuh bahwa Catatan Pinggir itu tetap essay. Cuma ada yang terjebak gara-gara Catatan Pinggir ditulis penyair lalu dianggap tulisan itu puisi. Bisa jadi nanti pembaca Sonya mengalami hal yang sama.
Itu dalam segi bentuk tulisan, yang sekiranya dianggap berbeda, aneh, nyleneh. Lalu kalau ditengarai tiap-tiap ide, tiap-tiap ada nomor-nomornya di buku Sonya ini mirip buku Emha Ainun Najib berjudul 99 untuk Tuhanku.
Tentu saja penulis atau pengulas, atau apa pun istilahnya, saya, tak hendak menyamakan antara Alie Emje dengan Goenawan Mohamad atau Emha Ainun Nadjib. Yang sama itu kasusnya di buku Catatan Pinggir Goenawan Mohamad dan bentuknya di buku 99 untuk Tuhanku Emha Ainun Nadjib, dengan Alie Emje di buku Sonya. Masing-masing orang itu punya karakternya sendiri, sebagai trade mark.
Alie Emje sebagai penulisnya tidak mungkin akan bisa menghalangi pemahaman, mengarahkan pembaca. Sebab pembaca itu merdeka menentukan penafsirannya. Pembaca itu bebas memberi apresiasinya. Buruk dan baiknya komentar, enak dan tidaknya komentar didengar, harus diterima apa adanya. Itulah kebebasan pembaca.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa Dengan Tuan Pembaca, puisi itu akan lebih sempurna. Sempurna akan menjadi puisi yang utuh karena berbagai pendapat. Pendapat-pendapat pembaca itulah yang melengkapi kekurangan yang ditulis penyairnya. Atau bahkan pembaca memvonis habis puisi itu.
Puisi atau Tulisan Apa pun yang Terpublikasikan
Puisi atau tulisan apa pun itu, selagi sudah terpublikasikan, sesungguhnya itu sudah milik publik. Penulis atau penyairnya masih boleh mangakui bahwa tulisan atau puisi itu miliknya tetapi tidak punya hak sepenuhnya untuk mengarahkan pembaca, menuntun pemahamannya, membela puisi-puisinya kalau dikritik buruk atau jelek. Bayangkan penulis atau penyair akan bisa apa kalau komentar-komentar itu terlontar dari pembaca, tetapi tidak terdengar oleh penulis atau penyairnya. Bagaimana cara membela tulisan-tulisannya.
Puisi atau tulisan apa pun itu bagaikan anak kandung, selagi anak itu masih kecil, masih dalam rengkuhan orang tua maka orang tua berhak mengarahkan, membimbing, malarang anak tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Harus begini, harus begitu. Tetapi kalau anak kandung itu sudah dipinang orang lain, ya orang tua tetap sebagai orang tuanya, tetapi tidak boleh dominan ikut mengaturnya. Orang tua hanya bisa mengamatinya. Tetapi tidak berhak memangkas semua kehendak pasangan anaknya.
Demikian juga puisi atau tulisan lain. Ketika belum terpublikasikan, tentu kekuasaan penuh di tangan penulisnya. Mau dirubah, dibatalkan, dikukuhkan. Terserah.
Di sini penulis/pengulas harus dengan sengaja menghargai hak pembaca, ranah yang sesungguhnya sah milik sepenuhnya pembaca. Apa pun komentar pembaca, sesuai kapasitasnya masing-masing, sesuai penafsirannya masing-masing. Maka penulis ulasan sebagian dari buku ini sengaja tidak mengulas secara detail, nomor per nomor puisi di dalam buku Sonya ini.
Meski pun tulisan-tulisan di dalam buku Sonya ini kalau dicocok-cocokkan, kalau digathuk-gathukkan, mirip pula milik Jalaludin Rumi, juga mirip haiku, puisi-puisi pendek khas Jepang. Tentu saja mirip dalam bentuk. Soal isi atau tafsiran-tafsiran pembaca, mangga, tak boleh ada sendok lain ikut menyendok isi piring anda. Ketika anda sedang makan.
Puisi atau tulisan apa pun selagi sudah terpublikasikan maka si penulis atau si penyair sudah tidak berhak berkomentar. Sebab puisi yang diberi komentar oleh penyairnya agar pembacanya tidak gagal paham, itu berarti puisi itu belum selesai digarap. Sebab masih ada tambahan komentar lain. Maka serahkan saja sepenuhnya kepada pembaca. Kok ternyata pembaca gagal total penafsirannya barangkali puisi-puisinya yang gagal atau memang (nyuwun sewu) pembacanya yang gagal. Tidak paham. Atau bukan kesenangannya. Sehingga kurang serius membacanya. Penulis/pengulas pernah berseloroh kepada penulis buku Sonya begini : ‘Meski pun menurutmu ketan (beras ketan yang dimasak lalu dibubuhi parutan kelapa, biasanya begitu) itu lebih enak daripada rumput atau daun-daunan kalau kau berikan kepada kambing di kandang, ya tidak akan dimakan malah dinjak-injak dan malah menggubal kaki kambing’
Tidak Ada Puisi Buruk, yang Ada Puisi Gagal
Dan bagi kita, penulis, pengarang, penyair atau apalah istilahnya, harus berpegang teguh ungkapan ini. Kalau tulisan sudah sengaja dipublikasikan, ya terserah maunya yang menerima. Kalau kita tahu sendiri buku kita diperlakukan kurang tepat hanya terasa nyeri di hati saja. Tetapi mau apa lagi. Itu sudah haknya. Komentar tambahan dari penulis atau penyair hanya rasa kurang percaya diri pada puisi-puisinya sendiri. ‘Jangan-jangan puisi saya dianggap kurang bagus, jangan-jangan….’ Nah itulah rasa ketidakpercayaan diri dari penulisnya.
Sesungguhnya tidak ada puisi bagus atau buruk. Yang ada hanyalah puisi gagal atau tidak gagal. Semua puisi seharusnya bagus. Puisi yang bagus dan tidak gagal, kalau puisi itu masih dibaca berulang-ulang oleh pembacanya, masih disenangi pembaca, masih dianggap berguna bagi pembaca. Disimpan di tempat yang layak oleh pembaca, di rak buku atau perpustakaan pribadi. Atau perpustakaan umum yang belum memilikinya.
Tetapi bagi puisi yang gagal, ya sekali baca tidur nglepus selamanya di rak buku. Dan lama-kelamaan puisi atau buku itu dilupakan. Buku puisi itu misalnya dipinjam orang, si pemilik buku tidak terlalu berharap dikembalikan. Lain lagi kalau isi tulisannya bagus. Ada yang pinjam terasa berat di hati. Kalau dipinjamkan, si peminjam diwanti-wanti supaya kalau sudah selesai segera dikembalikan.
Pengulas punya pengalaman pribadi, teman pengulas sama-sama menerima buku dari seseorang kenalannya yang menulis buku. Teman pengulas ini bukan penulis, bukan pengarang, apalagi penyair. Di dalam buku itu sesungguhnya nama pengulas dicantumkan sebagai editor atau pemeriksa aksara. Ketika pengulas mengetahui buku itu tergeletak dilantai tidak terurus dibuat main-main anaknya pengulas memintanya. Karena buku yang sama, yang dimiliki pengulas terpaksa diminta orang jauh, dan terpaksa diberikan. Jujur saja sebetulnya pengulas ingin mendokumentasikan buku itu karena nama pengulas tercantum di dalam buku itu.
Buku itu lusuh sekali. Karena dibuat main-main anak teman pengulas. Setelah di rumah saya buka-buka, astagfirllah, buku itu halaman per halaman dicoret-coret sepidol oleh anak teman pengulas. Memang yang main-main buku itu masih kecil, usianya sekitar 1,5 tahun.
Pengalaman yang lain, pengulas pernah bikin buku, tepatnya malah dibikinkan buku oleh Asyari Muhammad, teman pengulas. Ketika launching buku ada seseorang yang membagi-bagikan buku tersebut kepada audien. Dan keanehan terjadi, ketika pengulas, saya yang menulis buku itu bertandang ke perpustakaan umum di kota pengulas, buku pengulas itu ada di sana, jumlahnya sampai 3 buku. Padahal pengulas tidak atau belum memberi buku itu satu pun ke pihak perpustakaan. Dan buku itu setelah saya teliti masih lengket pertanda belum pernah dibaca.
Itu artinya orang-orang yang mendapat buku ketika mendapat gratisan di acara launching buku, langsung di’buang’ ke perpustakaan. Di perpustakaan sama sekali tidak ada seseorang pun yang membaca, bahkan sekedar membuka. Jadi artinya buku sekarang tidak bisa diandalkan.
Tetapi Ada Tanggungjawab Penulis
Namun demikian penulis buku atau penulis di media-media lain tetap punya tanggungjawab terhadap tulisan-tulisannya. Dan itulah yang seringkali menjadi polemik. Kalau ada kesalahan pikiran, bahkan kesalahan pengetikkan, lalu si pembaca protes, ya perlu dijawab, perlu diluruskan pemikiran pembacanya atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan penulisnya.
Menepis kesalahan adalah pertanda si penulis tidak menulis dengan kesadaran penuh. Ia sendiri sesungguhnya tidak terlalu suka dengan hal yang ditulisnya. Atau tidak terlalu suka dengan tulisan-tulisan (puisi) Bahkan bisa jadi motivasinya menulis hanya sekedar pingin terkenal saja. Kalau ada yang mengatakan, karena puisi itu bukan kitab suci yang boleh saja salah. Ya tuluisannya benar-benar bukan puisi. Berkarya apa saja itu harus dilakukan dengan kesempurnaan maksimal. Tentu sesuai pemahaman, pikiran si pembuat, si penulisnya. Kalau pada akhirnya tidak bisa semutu dengan tulisan orang lain, ya bagaimana lagi. Masing-masing orang punya kapasitasnya.
Puisi itu bukti nyata hasil kreativitas. Kreativitas itu identik dengan hal-hal yang baru dan khas. Khas itu hanya milik seseorang saja, tidak sama dengan lain, yang sesuai dengan pikiran si kreatornya, kepribadiannya, daya kreativitasnya, karakternya orang itu saja. Ini artinya orang lain sama sekali tidak boleh merubah-ubah hasil karya orang lain. Dan uniknya penyair itu berhak menentukan, apakah di setiap awal tulisannya itu harus ada huruf kapitalnya atau tidak. Apakah hanya pada awal bait saja huruf kapital dipasang. Apakah di setiap kalimat itu harus ada titiknya atau tidak. Perlu koma di sana-sini atau tidak. Semua itu hak preogratif kreatornya. Ini berarti semuanya itu telah diperhitungkan pemiliknya, sebagai identitas kreativitasnya.
Jadi pengertian ekstremnya, orang lain sama sekali tidak boleh merubah-ubah bentuk puisi, apalagi isinya. Orang lain tidak berhak mengedit puisi, karena hasil editan itu belum tentu sesuai karakter penyairnya. Dan kalau itu terjadi puisi bukan milik si A yang membuat awal dan bukan milik si B yang telah mengeditnya. Jadi berarti puisi itu bukan milik siapa-siapa. Karena tidak mewakili jiwa kreator seseorang. Kecuali kalau sifatnya untuk latihan, dan puisi itu tidak akan dipublikasikan, sebagus apa pun jadinya. Sebab puisi itu bukan milik siapa-siapa.
Maka kalau seandainya kita tanyakan kepada redaktur puisi di koran-koran atau majalah-majalah, di tabloid-tabloid atau apa saja namanya. Selagi bonafid media-media itu, mustahil redakturnya akan mengedit, membenahi saja tidak. Puisi keliru sekecil apa pun langsung masuk tong sampah. Kecuali kalau tulisan-tulisan selain puisi. Pernyataan ini saya tulis karena tulisan ini berani diperdebatkan secara umum dan luas. Secara luas, bagi yang paham. Secara luas itu artinya bisa dibaca atau dimengerti banyak orang. Maka sesungguhnya karya sastra yang tidak boleh salah itu puisi. Setuju atau tidak setuju itu hak anda.
Selayaknya tidak hanya puisi yang tidak boleh salah, tetapi karya apa saja. Karena itu akan dikonsumsi, dipakai, digunakan oleh orang lain. Bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kalau payung itu sudah dijual, dipublikasikan, ya payung itu bakal milik orang lain. Tetapi kalau ternyata payung itu sama sekali tidak bisa dikembangkan, buat apa membeli payung. Dan lain sebagainya. Maka jangan menyepelekan segala hal. Karena itu pun cermin kepribadian.
Sosok dan Bayang-bayang
Goenawan Mohamad pernah membaca cerita/dongeng Andersen yang diterjemahkan Trisno Sumardjo pada tahun 1955 tentang sarjana dan bayang-bayang. Ada seorang sarjana datang ke negeri panas. Matahari sangat kuat. Bayang-bayang itu semakin tegas, semakin kokoh dan besar.
Dalam dongengan itu bayang-bayang menjelma makhluk hidup yang tangguh. Lalu berusaha melepaskan diri dengan sosoknya. Ternyata bayang-bayang itu akhirnya kian terkenal. Sedang sosoknya bagai menghilang. Dongeng Andersen itu singkatnya kira-kira begitu.
Bagi Goenawan Mohamad dalam dongengan ini, sosok atau orangnya atau sarjananya, itu adalah si penyair. Sedang bayang-bayangnya adalah puisi-puisinya.
Goenawan Mohamad juga berpendapat, ketika puisi-puisi tidak lagi dibaca apakah si penyair yang ambil peran kesusasteraan, membacanya sendiri menggebu-gebu, ke mana-mana? Penyairnya mungkin segera terkenal. Tetapi di sisi lain kritik sastra berkembang menjadi psikoanalisa dan akhirnya gosip.
Sebagai Tanda Sang Pencatat Sejarah
Tetapi ada orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya puisi itu tanda. Pendapat ini mempertegas ungkapan bahwa ; Saya berpikir maka saya ada. Jadi puisi itu tanda, pernah ada penyairnya, Alie Emje. Puisi itu semacam tugu. Pengingat. Bukti pencatat sejarah. Atau puisi itu batu nisan seperti ungkapan Soe Hok Gie, penyair adalah kubur batu nisan sajaknya. Penyair itu sosok yang biasa, manusia pada umumnya. Kalau meninggal dan sudah terkubur sudah habis semuanya. Yang hanya masih bisa dibaca adalah batu nisannya. Karena di bawahnya ada sosok bernama …..
Kalau kita simak tulisan-tulisan di buku Sonya ini, Alie Emje telah mencatat segala hal, antara lain mencatat tentang kesunyian lingkungannya, kesunyian batinnya, gejolak, bahkan remuk-redam. Menceritakan pula tentang alam yang kerap dieksploitasi manusia dengan kejam. Bahkan puisi-puisi Alie Emje di buku ini yang paling terasa adalah ungkapan-ungkapan religiusitasnya.
Dan yang perlu saya akui, saya apresiasi, dan barangkali sering luput dari perhatian orang justru yang ditulis seolah-olah berbeda dengan yang di media-media koran dan majalah itu sesungguhnya memang khusus puisi untuk buku. Perhatikan puisi-puisi buku milik orang-orang kawak — kalau kurang setuju saya sebut milik para senior. Tentu berbeda dengan yang dikirimkan di koran-koran atau majalah.
Perhatikan puisi-puisi F. Rahardi, Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Darmato JT, WS Rendra (terutama yang akhir-akhir) di buku-bukunya, tentu terasa beda dengan puisi-puisi yang biasa di koran atau majalah. Dan justru puisi-puisi buku yang nyleneh itu kalau dikirimkan ke koran atau majalah bisa jadi kurang atau bahkan tidak laku.
Almarhum Radhar Panca Dahana pernah menulis, seandainya di suatu negeri tak ada satu pun penyairnya, maka segala peristiwa sejarah apa saja akan mudah lenyap dari ingatan.
Tentu saja puisi yang ditulis penyair. Tentu saja karena puisi itu sesungguhnya saksi yang perlu ditulis supaya abadi. (*)
Biodata pengulas
Sunardi KS menulis apa saja, mulai puisi sampai humor kecil-kecil, sepele, artikel-artikel keluarga, remeh-temeh. Pernah jadi karyawan swasta di (yang kata banyak orang perusahan bonafid) tetapi ke luar karena tidak krasan, nekad menjadi penjual tulisan atau gagasan. Pernah menulis dengan bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia, pernah memiliki banyak nama samaran. Sudah! Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa biodata penulis adalah ditulis oleh penulisnya sendiri. Kadang sampai berpuluh-puluh halaman banyaknya. Menulis seabreg prestasinya. Penghargaan ini itu, gelar ini itu, piagam ini itu. Weleh-weleh.