blank
Gol...bola masuk gawang. Foto: pixabay

blankOleh: Amir Machmud NS

SEPERTI apakah kita membelai sepak bola yang telah ikhlas membelai hidup kita?

Dengan berjuta rasa, keindahannya berselimut misteri.

Dengan berjuta rasa, kegagahannya bermata air cinta dan kelembutan.

Dengan berjuta rasa, dia adalah elok puisi-puisi yang memancar dari luap kegembiraan, renik kesedihan, rumit kekecewaan, ungkapan kebahagiaan, atau ruap kemuraman…

Dengan berjuta rasa, dia “makhluk” dengan sesederhana itu bentuk — bundar bulat — tetapi menyimpan energi hidup yang luar biasa.

Albert Camus, misalnya. Filsuf dan peraih Nobel Sastra 1975 itu membelai sepak bola dengan penuh respek. Segala sesuatu tentang moralitas dan kewajiban sebagai manusia, katanya, dia dapatkan dari sepak bola.

Atau Bill Shankly, tokoh legendaris Liverpool (1956-1974). Semboyan heroiknya banyak dikutip sebagai kampanye fanatisme yang provokatif, “Sepak bola lebih serius dari persoalan hidup dan mati”.

Begitu kuat nilai-nilai magnetis sepak bola. Coba simaklah satire ugal-ugalan Eduardo Galeano, wartawan dan novelis Uruguay (1940-2015) ini. Seorang pria, katanya, dapat mengubah istri, partai politik atau agama, tetapi dia tidak dapat mengubah tim sepak bola favoritnya.

Kecerdasan Ekspresi
Sepak bola melahirkan berupa-rupa kecerdasan ekspresi anak manusia, baik para pelaku secara teknis, maupun mereka yang menikmati singgungan filosofis, historis, dan sosiologinya.

Maestro sepak bola Belanda Johan Cruyff menyebut sepak bola adalah permainan yang sederhana, namun hal tersulit dalam sepak bola adalah bermain sederhana.

Sama dengan Eric Cantona, yang menilai kejeniusan Lionel Messi terletak pada naluri bermain seorang kanak-kanak. “Biarkan dia bermain seperti bocah, dan kalian akan mendapatkan kehebatannya”.

Masih tentang Cruyff, yang memercayai bahwa gravitasi pikiran manusia sepak bola tak akan jauh-jauh dari pusaran magnetik “makhluk” itu. Suatu ketika, dia tahu pelatih sepak bola Irlandia, Jack Charlton ingin pensiun dan menghabiskan waktu untuk hobi memancingnya. Dengan tenang Cruyff berkomentar, “Bagaimana bisa dia meninggalkan sepak bola? Saat dia memancing pun, yang ada dalam pikirannya ya sepak bola…”

Pernak-pernik curah rasa, apakah itu kesombongan, arogansi, atau kerendahhatian menyertai beragam sikap pelatih dan pemain.

Jose Mourinho, arsitek asal Portugal yang berurutan menangani Porto, Chelsea, Internazionale Milan, Real Madrid, Manchester United, Tottenham Hotspur, dan AS Roma tanpa ragu menyebut diri sebagai The Special One.

Media dan pasar budaya pop dengan riuh menyambut “ketengilan” yang quotable itu. Nilai “market” ucapan itu tak kalah dari ketika pada 2018 Zlatan Ibrahimovic dengan pongah mengatakan, sebuah Piala Dunia takkan menjadi Piala Dunia bernilai tanpa kehadirannya.

Filsafat Keunikan
Dari berjuta rasa itu, sepak bola adalah filsafat dalam ungkapan solidaritas, dan kemampuan mengendalikan ego-ego individual.

Kalau Anda menyimak kolektivitas permainan tiki-taka Barcelona misalnya, atau AC Milan di era The Dream Team, kita menemukan betapa banyak orang hebat yang mencurahkan kompetensi individualnya untuk loyal kepada sebuah sistem. Namun individu-individu hebat itu tidak kehilangan keunikannya.

Contoh Barca dan Milan dalam level tim nasional adalah Brazil 1970 dan 2002, Belanda 1974, Argentina 1986, atau Spanyol 2010.

Tim-tim itu adalah produk ijtihad yang tersimpulkan dalam cipta-karsa-karya berjuta rasa. Tak mungkin hanya produk pendekatan teknis, tetapi menyatu dengan landasan filosofis yang kuat.

Anda ingat “empu” sepak bola Argentina Luiz Cesar Menotti?

Suatu ketika, pelatih yang mempersembahkan Piala Dunia 1978 dan Piala Dunia Yunior 1979 itu menyatakan, tim sepak bola tanpa pemain bintang ibarat negeri tanpa penyair.

Dapat ditafsirkan, dalam pandangan Menotti, secara filosofis hingga teknis permainan sebuah tim membutuhkan imajinasi dan kekuatan ide.

Dengan segala keliaran ide, visi, dan imajinasi, elemen-elemen itulah yang akan membawa pengembaraan gagasan seorang pelatih hingga ke titik berjuta rasa.

Misteri yang terlipat dalam permainan sepak bola menjadi pancaran keindahan. Sedangkan keindahan yang terekspresi adalah kekuatan. Kekuatan yang terpancar adalah diksi-diksi yang dalam bahasa Albert Camus, Shankly, dan Galeano menarasikan penting dan sentralitas makna sepak bola…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah