Upaya untuk mengelabui calon kurban itu menggunakan teknik riil didepan calon korbannya. Misalnya, kertas disobek-sobek “berubah” menjadi lembaran uang kertas dalam kondisi baru, atau tangan yang semula kosong, hanya dengan gerakan dua detik ada uang kertas, dsb.

Untuk meyakinkan calon korban, beberapa orang yang berminat disuruh meneliti uangnya dengan lampu deteksi keaslian uang. Dan hasilnya tentu saja asli.

Setelah tamunya yakin, dia kemudian mengajak teman-temannya untuk “udhu” atau investasi, berupa uang kertas yang masih baru (bukan uang lecek). Untuk lebih meyakinkan “nasabah” uang yang sudah terkumpul itu akan dirituali Gurunya yang dikatakan masih kerabat keraton.

“Hadza Sihir”
Menurut pengamatan saya, orang yang mudah menjadi korban modus aneh-aneh, itu kuper (kurang pergaulan) dolannya belum jauh, dan biasanya berkumpulnya juga dengan mereka yang punya hobi dan cara berpikirnya serupa, sehingga makin bertambah bodoh.

Baca juga Macan Fisik & Metafisik Tulisan Kedua (Habis)

Saya paham trik atau teknik semacam itu, namun kran informasinya perlu dibatasi. Karena ilmu, apapun itu memiliki “peran ganda” layaknya obat nyamuk (cair) bisa digunakan untuk membasmi nyamuk, namun ditangan orang “kalap” juga bisa untuk sarana bunuh diri.

Andai harus dibuka tekniknya pun secukupnya, sebatas bekal untuk lebih waspada. Kita boleh belajar atau sebatas tahu ilmu maling, agar tidak mudah kemalingan, dan belajar ilmu copet pun agar tidak mudah kecopetan.

Teman saya punya kisah unik saat bekerja di Arab Saudi. Berawal dari ingin menghibur anak-anak majikan, dia bermain sulap yang dulu saya ajarkan waktu kelas SMP. Ketika dia memainkan sulap “merubah” kertas menjadi uang, majikannya marah besar lalu menghubungi asykar (polisi) malalui telepon.

Teman saya ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan melakukan sihir di tanah suci. Dia sempat ditahan 24 jam, kemudian dibebaskan ketika dia dapat memastikan apa yang diduga sebagai sihir itu murni teknik.

Dia dibebaskan setelah memeragakan teknik sulap dalam gerak slow. Setelah para Asykar itu tahu cara mainnya, mereka pun tertawa dan berkata :”Indonesia good, good, good…” sambil mengangkat kedua jempol.

Dulu dia belajar sulap sebatas ingin tahu, biar nanti saat melihat “keajaiban” tidak langsung komentar baru kemudian berpikir. Pemikiran “orang sana” masih ada yang mengikuti narasi pra-ilmiah untuk menganalisa kejadian yang dianggap “luar biasa.”

Sulap, walau kesannya sepele, bagi saya itu perlu diketahui. Selain bisa mengasah otak, juga menjadi cerdas dalam berpikir. Saya punya teman (tokoh muda) yang jatuh bangun dan habis-habisan, menjadi korban oknum tertentu yang memanfaatkan sulap yang didramatisasi sebagai keajaiban.

Teknik sulap itu bisa diurai dengan teori ilmiah karena tercipta dari pengembangan teori yang sudah ada. Dan sulap menjadi hal yang sederhana ketika rahasianya sudah terbongkar atau diketahui di luar komunitasnya.

Selain yang teknik, sebenarnya ada mitos semacam sihir, namun itu masih ada dan jadi folklore atau cerita rakyat, bedanya masyarakat kita lebih “bersahabat” dengan hal-hal yang demikian, dan hanya sebagian kecil yang paranoid.

Masruri, penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati