blank

suarabaru.id – Tak sedikit yang bertanya sejarah dan kebenaran mitos burung perkutut yang dipercaya masyarakat Jawa hingga saat ini.

Berbagai mitos burung perkutut yang dipercaya hingga saat ini yaitu mampu mendatangkan rezeki, menolak bala, hingga kesengsaraan.

Itulah mengapa, burung perkutut memiliki harga yang fantastis dibandingkan peliharaan lainnya. Bahkan beberapa burung perkutut yang telah memenangkan kontes, memiliki harga ratusan juta rupiah.

Burung perkutut memang istimewa. Terlepas dari hal mistis dan mitos yang ada, burung perkutut memiliki alunan suara yang merdu dan mampu menenangkan hati.Zaman dahulu kaum dengan kasta rendah tidak mampu memelihara burung Perkutut. Warga hanya dapat mendengarkan suaranya dari kejauhan.

Satu diantara kaum ningrat yang mempunyai burung perkutut adalah Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit). Burung Perkutut tersebut dirawat oleh Joko Mangu.

Dikisahkan suatu hari perkutut milik Prabu Brawijaya V terlepas. Penjaga dan tim keamanan kerajaan sudah bersiap menangkapnya, namun sang raja membiarkan hal tersebut terjadi.

“Biarlah wahai penjagaku itu hanya seekor burung, hartaku sebenarnya adalah rakyat bukan Perkutut,” kata Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit.

Setelah sekian lama, Prabu Brawijaya V hijrah ke wilayah Yogyakarta. Secara mistis burung perkutut yang telah terlepas menghampiri sang raja dan hinggap di pundaknya.

Kejadian langka ini disaksikan langsung oleh raja-raja sekitar Mataram ketika semuanya berkumpul di Yogyakarta.

Sementara itu, terdapat hal menarik berkaitan dengan sejarah dan lomba dari kontes burung perkutut yang masih dilestarikan hingga sekarang.

Tradisi dan lomba ini diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921). Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan juara tapi untuk menghibur masyarakat.

Meskipun demikian, banyak pencinta burung perkutut yang mengedepankan tuah gaib ketimbang suara dan keindahan bulu yang dimiliki.

Lantas, apa yang membuat burung perkutut berhubungan dengan mitos dan berbagai hal gaib? Tentu ada sejarah yang berkaitan dengan mistis yang menyelimutinya.

Saat acara ini berlangsung, juga disertai dengan rilisnya lagu dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang diilhami dari suara anggungan Perkutut. Masyarakat mengenal lagu tersebut dengan sebutan Monggang.

Di era Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939) tradisi lomba Perkutut masih dilestarikan. Hanya saja pesertanya masih dari kalangan darah biru, seperti para saudagar, dokter, raja, dan kaum ningrat