blank
Tim Prancis. (foto: business-standard.com)

Oleh: Nur Muktiadi
THE Greatest Show on Earth (Pertunjukan Terbesar di Bumi) segera digelar. Apalagi kalau bukan Piala Dunia sepakbola. Miliaran pasang mata bakal tertuju ke Qatar, negeri antah berantah dalam peta persepakbolaan dunia, yang tiba-tiba saja terpilih menjadi tuan rumah untuk penyelenggaraan tahun ini. Negara kecil di kawasan Timur Tengah itu bakal menjadi magnet dunia, saat pemain-pemain terbaik dari lima benua berusaha menampilkan performa terbaik mereka.
Dari 32 negara yang bakal tampil dan terbagi dalam 8 grup, Prancis merupakan salah satu favorit juara. Hal ini cukup beralasan, mengingat Negeri Mode itu merupakan juara bertahan. Prancis menjadi juara pada episode sebelumnya di Rusia tahun 2018, setelah di final menggulung tim kuda hitam Kroasia dengan skor 4-2.
Pada laga yang dihelat di stadion Luzhniki, Moskow, tepatnya 15 Juli 2018, gol-gol Les Bleus dicetak oleh Antoine Griezmann, Paul Pogba, dan Kylian Mbappe, serta satu gol bunuh diri Mario Mandzukic. Sedangkan dua gol Kroasia dicetak Ivan Perisic dan Mandzukic. Prancis pun meraih gelar kali kedua, setelah yang pertama diraih pada 1998 ketika mereka menjadi tuan rumah, dan di final mengalahkan Brasil dengan skor telak 3-0. Dua gol disumbangkan oleh Zinedine Zidane, sedangkan satu gol lagi oleh Emmanuel Petit.
Kemenangan itu tentu saja sangat membanggakan bagi masyarakat Prancis. Mereka mensejajarkan diri dalam kelompok elit peraih Piala Dunia. Namun empat tahun kemudian di Piala Dunia 2002 Korea-Jepang, mereka seperti terkena “Kutukan Juara Bertahan”. Betapa tidak, datang sebagai juara bertahan, bahkan dua tahun sebelumnya menjuarai EURO 2000 dengan membungkam Italia 2-1 di final, hasil yang didapat justru mengenaskan.
Prancis babak belur dengan mendekam di urutan terbawah babak penyisihan Grup A, setelah hanya mampu mengemas 1 poin, hasil dari bermain imbang tanpa gol melawan Uruguay. Dua laga lainnya Tim Pangeran Biru menelan kekalahan masing-masing atas Senegal 0-1 dan Denmark 0-2. Tragisnya, secara keseluruhan mereka bahkan tak mampu mencetak satu gol pun.
Berkaca dari pengalaman tersebut, tak berlebihan bila pasukan Didier Deschamps dihantui kekhawatiran akan terulangnya “Kutukan Juara Bertahan” pada perhelatan kali ini. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, mengingat bukan mereka saja yang mengalami. Tetangga mereka Italia, juga mengalami hal serupa. Usai memenangkan Piala Dunia 2006 dengan mengalahkan Prancis di final melalui adu penalti, Italia menjadi unggulan pada penyelenggaraan empat tahun kemudian di Afrika Selatan.
Tak ada yang menyangka Gli Azzuri akan babak belur di Afrika Selatan, sebab mereka tergabung di Grup F yang relatif mudah bersama tim-tim medioker seperti Paraguay, Selandia Baru, dan Slovakia. Secara kualitas pemain dan permainan tentu saja Italia di atas ketiga tim tersebut. Tapi apa yang terjadi? Italia yang sudah tak diperkuat lagi oleh Francesco Totti, Filippo Inzaghi, Alessandro Del Piero, dan Luca Toni, harus menerima nasib sebagai juru kunci pada akhir penyisihan grup.
Mereka hanya mendulang 2 poin hasil bermain imbang melawan Paraguay maupun Selandia Baru dengan skor sama 1-1. Pada laga ketiga mereka takluk 2-3 atas Slovakia. Spanyol akhirnya sukses merebut Piala Dunia 2010, setelah di final menundukkan Belanda melalui gol tunggal Andres Iniesta
Pada penyelenggaran empat tahun kemudian di Brasil pada 2014, giliran La Furia Roja ketiban apes. Seolah menerima “Kutukan Juara Bertahan”, tim besutan Vicente Del Bosque gagal melewati fase grup dengan hanya menempati peringkat ketiga dengan 3 poin. Pada penyelenggaraan kali ini dimenangkan oleh Jerman, setelah menaklukkan Argentina di final dengan skor tipis 1-0.
Namun lagi-lagi fenomena kutukan berlanjut. Der Panzer sebagai juara bertahan saat Piala Dunia 2018 digelar di Rusia, Manuel Neuer dan kawan-kawan kocar-kacir saat penyisihan grup kalah bersaing dengan Swedia, Meksiko, dan Korea Selatan. Saat laga penentuan menghadapi Korea Selatan, Jerman kalah secara dramatis 0-2 lewat gol yang dicetak Kim Young Gwon menit ke-94, dan Son Heung Min menit ke-96.
Dari catatan yang ada, pada rentang waktu 20 tahun terakhir, hanya Brasil yang mampu lolos dari jerat “Kutukan Juara Bertahan”. Usai menjadi juara pada 2002, Tim Samba melenggang hingga perempat final pada penyelenggaraan empat tahun kemudian di Jerman, setelah dihadang Prancis.
Akankah pada 2022 ini kutukan tersebut terulang? Kemungkinan tersebut selalu saja ada. Prancis datang ke Qatar tidak dalam kondisi superior. Beruntung mereka masuk ke dalam grup yang tidak terlalu berat, yaitu di Grup D bersama dengan Australia, Denmark, dan Tunisia. Seharusnya Deschamps tak perlu khawatir, mengingat pilar andalannya seperti Kylian Mbappe, Karim Benzema, Hugo Lloris, dan Raphael Varane dalam kondisi siap tempur.
Namun dua bintang lini tengah, Paul Pogba dan N’Golo Kante, yang berperan penting saat menjadi juara di Rusia, tidak bisa ambil bagian karena cedera. Penjaga gawang Mike Maignan juga masih dibelit cedera meski performanya cukup bagus bersama AC Milan. Ironisnya lagi, ketika skuad resmi sudah diumumkan, Prancis harus kehilangan dua pemainnya yang cedera saat sesi latihan, yaitu Presnel Kimpembe dan Christopher Nkunku. So, Didier Deschamps memang layak ketar-ketir. (Penulis adalah wartawan suarabaru.id)