Oleh Nur Komar*
Jihad dalam terminologinya ada musuh yang harus dilawan untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran agar dapat tegak berdiri dan berdaulat. Era perjuangan penegakan agama Islam tentunya saat itu adalah perintah dari Sang Pemilik agama itu sendiri yang kemudian oleh penyampainya dicetuskan sabda bahwa ada peperangan yang lebih besar setelah satu peperangan besar terjadi saat itu. Yaitu peperangan melawan hawa nafsu.
Terbuktinya sabda itu sungguh nyata adanya. Perjuangan-perjuangan yang berat adalah perjuangan mengalahkan hawa nafsu. Hawa nafsu siapa? Segala unsur kepentingan kerap terlahir dari ego individu seseorang untuk mencapai puncak yang diinginkan sehingga pelbagai cara dilakukan bahkan menerompa nilai keberadaban. Praktis hal tersebut menjadikan esensi perjuangan hanyalah bentuk mewujudkan keinginan. Oleh sebagian orang maupun kelompok sangat anti dengan sikap tersebut dan sering tercipta ketersinggungan karena perseberangan pendapat.
Terminologi jihad kemudian dibangun sedemikian rupa untuk melawan kepentingan yang menerompa nilai-nilai suatu hajat yang seharusnya terhormat dengan wujud argumentasi keantipatian. Benturan perbedaan pemahaman bagi saya bukanlah bentuk perlawanan kepada individu maupun kelompok yang saling berseberangan. Gagasan-gagasan yang dinilai atas nama kepentingan pribadi tidaklah bagus untuk diteruskan.
Jihad Sastra belakangan ini diembuskan di jagat kesusastraan Jepara. Kemunculan gerakan kecil ini menurut saya tidak mengerucutkan suatu rekomendasi apapun karena memang tidak dibangun untuk tujuan berjihad dalam rangka penegakan kesusastraan yang semestinya. Selain itu gerakan ini hanya sebuah gembar-gembor belaka tanpa membuka ruang diskusi untuk membangun tujuan bersastra. Lalu apa yang ditegakkan dari jihad sastra yang dimunculkan ini? Saya tidak memihak juga tidak menjelekkan pihak-pihak tertentu. Jihad yang diembuskan ini hanya menjawab argumentasi pihak lain dengan mengupload video dan ditujukan kepada yang dianggapnya melawan.
Pengembus suara ini kemungkinan belum pernah tahu gerakan sastra secara nyata. Apa itu? Adalah Muktamar Sastra pada Desember 2018 yang melahirkan beberapa rekomendasi untuk progresifitas sastra di Indonesia. Maka, apa yang hendak dibangun untuk penegakkan sastra di Jepara ini? Frasa yang dinaharkan semata untuk popularitas dan materialistis justru merobohkan esensi-esensi sastra bahkan meluluhlantakkannya.
Sewindu sudah Membaca Jepara dan terlebih dulu LBPK yang telah mengancik tahun ke-11 sesungguhnya telah berjihad untuk progresifitas sastra di Jepara. Semestinya tidak dipandang personal di dalamnya. Siapa saja mereka itu tapi realita bahwa laku empirik yang ada bukan pendirian panggung bersastra. Mewadahi keberanian orang menulis puisi kemudian dilombakan pembacaannya secara nasional jelas bukan isapan jempol cantengan belaka.
Mantap. Berjihad di wilayah sastra tidak lebih ringan atau rendah nilainya dibandingkan berjihad di wilayah politik, ekonomi, pendidikan, dll.
Jihad bukan hanya dalam arti perang. Jihad, ijtihad, mujahid, memiliki akar kata yg maknanya sama: bersungguh-sungguh, temenanan, ora dolanan.
Di sinilah jihad sastra berperan. ISIS yang mengklaim jihad demi tegaknya khilafah tapi ngawur saja bersungguh-sungguh, apa lagi dalam kehidupan sastra, seni, dan budaya. Harus berjihad dengan sungguh-sungguh.
Menurut penyair Jepara, Didid Endro S., menulis dan bersastra itu adalah jembatan peradaban. Itulah: pena lebih tajam daripada pedang.
Mari bersama-sama mengasah pena kita
(Kang Darjo)
*Nur Komar adalah penulis di buku puisi Membaca Jepara