Oleh: Amir Machmud NS
“PEMANASAN” kontestasi politik 2024 dapat kita rasakan memusar pada isu klasik keterbelahan antara “kita” dan “mereka”.
Mengapa klasik? Persoalan head to head dua elemen primordi itu selalu menjadi isu sexy. Di ranah publik, sentimen “naluri purba” manusia dibangkitkan untuk menggiring fanatisme rasa keberpihakan.
Di tingkat media, pemberitaan yang mengusik realitas keberagaman dijadikan salah satu pilihan untuk mengeksploitasi rasa ingin tahu, kepo, dan kepenasaranan. Perasaan alami audiens itu berpotensi meningkatkan viewers, like, dan subcribe. Ujung-ujungnya adalah mobilisasi target viralitas.
Sejumlah media tersegmen ke dalam pola-pola pemberitaan yang stereotipe. Setidak-tidaknya ada empat kategori segmentasi sikap dengan “frekuensi” dan intensitas masing-masing. Kebijakan editorial media-media itu mencermin ke dalam karakter dan gaya.
Pertama, media yang seolah-olah menjadi corong keberagaman, toleransi, atau yang “NKRI banget”. Pilihan isu pemberitaannya cenderung ofensif terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap berseberangan, yang dituding mempraktikkan politik aliran. Sebutan kadal gurun (kadrun) sering di-setting dan di- framing melalui para narasumber untuk menstigmatisasi kelompok yang diposisikan sebagai lawan.
Kedua, media yang menyuarakan sikap berseberangan dengan pola-pola stigmatisasi praktik politik aliran. Mereka memilih narasumber untuk merespons ofensif “kubu toleran”, atau melakukan serangan-serangan pula, baik yang bersifat tesis maupun antitesis.
Ketiga, media yang memberi ruang berimbang kepada dua kubu. Mereka mengetengahkan moderasi opini, dengan tidak memilih sikap keberpihakan verbal. Penilaian terhadap opini yang diangkat diserahkan kepada kedewasaan politik audiens.
Keempat, media yang mengakomodasi pertarungan opini, mengolahnya dalam intensi setting sebagai potensi viralitas. Isu apa pun yang diusung oleh dua kelompok besar itu, di-blow up sebagai sumber keuntungan dalam konteks algoritma google. Media-media ini memainkan kebijakan editorial yang pragmatis.
Tanggung Jawab Sosial
Pertarungan dua kelompok yang secara mainstream memiliki kekuatan penyangga itu, berpotensi memosisikan media-media dalam pilihan sikap masing-masing.
Fenomenanya, kubu yang berhaluan kebinekaan memosisikan diri berseberangan dengan kelompok yang dicap “kadrun”. Sama, seperti dulu kita mengenal ungkapan dikotomis cebong versus kampret.
Bahkan di level internal partai pun, kita catat misalnya di PDI Perjuangan muncul faksionasi Banteng vs Celeng, atau Dewan Kolonel vs Dewan Kopral. Hal ini mengingatkan dulu, pada fenomena di Partai Keadilan dan Sejahtera juga muncul faksi Keadilan dan faksi Kesejahteraan.
Suka atau tidak suka, faksionasi yang membelah posisi rakyat lewat cebong vs kampret, lalu cebong vs kadrun, menciptakan polarisasi yang berkesan memecah rasa kebinekaan.
Padahal bukankah dari “sononya”, Indonesia adalah bangsa yang beragam? Mindset mulia lewat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 mewujud dalam kehidupan indah yang tanpa sekat suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Praksis pers menegaskan keberagaman ini dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjaga agar pemberitaan terbebas dari unsur SARA. Realitas kebinekaan itu dijaga oleh KEJ sebagai pilar moralitas dan tanggung jawab sosial pers.
Tak hanya KEJ sebagai moralitas wartawan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga dinuansai spirit kebangsaan yang kental.
Praksis fungsional media untuk memberi informasi, memberi pendidikan, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial adalah amanat yang menuntun wartawan dan media untuk menghayati nilai dasar keindonesiaan berupa sikap keberagaman.
Jebakan Politik Aliran
Isu politik aliran, disadari atau tidak disadari bisa menjebak media ke dalam dua bentuk kebijakan pemberitaan.
Pertama, mengklaim sebagai media representasi kebinekaan. Dalam kategori ini mereka menyuarakan perlawanan terhadap praksis politik aliran.
Kedua, merasa sebagai representasi perlawanan kelompok yang terposisikan oposisional kepada penguasa, dan seakan-akan kelompok ini mewakili agama mayoritas di Tanah Air.
Pada kategori pertama, pilihan narasumbernya adalah tokoh-tokoh yang vokal kepada “kadrun”. Begitu pula sebaliknya.
Dalam perspektif 2024, kedua kategori itu saling berebut ruang opini pemberitaan untuk isu-isu pengusungan calon presiden dan calon wakil presiden.
Pesan-pesan, baik yang tersirat maupun yang tersampaikan secara verbal adalah kampanye branding, klaim-klaim, memperkuat citra baik, memberi citra buruk; yang didukung oleh kerja para buzzer.
Memberi Pertimbangan
Tentu bukan merupakan pilihan yang bijak, ketika wartawan dan media larut dalam keterjebakan pengelompokan itu. Pilihan kebijakan pemberitaan terpolarisasi oleh isu-isu “nasionalis” dan “kadrun”.
Menjadi berbahaya ketika stigmatisasi itu menyentuh relung sikap keberagamaan seseorang yang murni terkait dengan masalah akidah, padahal dalam sikap politik sejatinya dia toleran dan memahkotakan makna berkebangsaan.
Dalam kondisi demikian, media diharapkan dapat memerankan diri secara bijak sebagai “moderator”, yang merupakan pancaran pelaksanaan KEJ.
Jadi mengapa tidak memilih peran sebagai “pemberi pertimbangan”?
Posisi ini terasa mulia, ketika media mengapungkan fakta-fakta tentang berbagai alternatif yang dihamparkan ke hadapan publik.
Misalnya, memberi gambaran kualitas kepemimpinan seseorang yang banyak disebut sebagai kandidat capres, seperti apa rekam jejaknya, bagaimana keberpihakannya kepada nilai-nilai keberagaman, bagaimana kekuatan sikapnya tentang realitas keindonesiaan yang “berbagai-bagai”, juga bagaimana membaca hasil survei dari berbagai lembaga, dan sejumlah magnet lainnya.
Pemberitaan dengan model memaparkan secara jujur aneka pertimbangan inilah yang bisa membantu publik dalam memastikan pilihan.
Media bernilai fungsional ketika punya iktikad memberi konsiderans bagi calon pemilih capres. Model ini bakal menghindarkan bangsa dari risiko keterbelahan lantaran perang opini tentang kekhawatiran terhadap praktik-praktik politik yang merasa berkekuatan tanpa batas, termasuk politik aliran.
Idealnya, media tidak menyuburkan polarisasi yang berlangsung brutal, melainkan memberi pertimbangan jujur dari banyak pandangan yang beredar.
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —