Oleh: Amir Machmud NS
// bukankah ia bulan/ bukankah ia matahari/ bukankah ia bintang-bintang/ sepak bola, bukankah ia silaturahim rasa/ ikatlah jiwa/ buanglah sekat/ cairkan beku laknat//
(Sajak “Silaturahim Sepak Bola”, 2022)
HARI-HARI ini, isu global apakah yang lebih penting ketimbang Piala Dunia 2022 di Qatar, mulai 21 November nanti?
Kita masih menyuntuki perang Rusia vs Ukraina. Kita masih meratapi ketidakstabilan harga minyak dunia. Pun, suntuk menghadapi ancaman resesi yang diperkirakan mengempas ekonomi dunia.
Dan, Anda pasti paham betapa sepak bola tak pernah kehilangan magnet sebagai pemersatu global. Tak pula kekurangan daya pikat sebagai permainan penuh misteri perekat hati umat sejagat. Tak juga luntur sebagai penepis sekat primordi.
Simaklah Mohamed Salah dan Sadio Mane.
Mo Salah menjadi simbol humanisme yang tak terbatasi oleh keyakinan spiritual manusia. Penyerang Liverpool asal Mesir itu adalah ikon yang menepikan Islamofobia. Dalam realitas teknis, Salah menjadi gantungan kesuburan gol The Anfield Gang.
Sadio Mane? Di Senegal, negerinya, dia tersimbolisasi sebagai sosok teladan dalam amal sosial. Anak seorang marbut masjid itu kini adalah andalan gol Bayern Muenchen, tanpa terhalang sekat ideologis. Sama seperti ketika bintang murah senyum itu masih bahu membahu bertandem dengan Mo Salah di Liverpool.
Betapa banyak bintang sepak bola dengan latar agama, ras, dan suku dari Afro-Asia di berbagai liga Eropa. Aneka letupan rasis memang masih muncul, namun para pemain dari benua yang pernah dipandang sebagai “dunia ketiga sepak bola” itu kini makin mengurai diri dari inferioritas di hadapan superioritas Eropa dan Amerika Latin.
Dulu, pada 1995, ketika George Oppung Weah terpilih sebagai Pemain Terbaik FIFA, Eropa, dan sekaligus Afrika, sepak bola dunia masih nyinyir dengan isu-isu rasial. Padahal, pemain asal Liberia yang menjadi andalan Paris St Germain dan AC Milan itu sejatinya menarasikan kenyataan: kualitas tak pernah bisa disekat oleh primordi apa pun.
Fokus ke Qatar
Hari-hari ini, di tengah fokus manusia ke Piala Dunia Qatar, mengapung wacana untuk mendiskualifikasi Iran dari Piala Dunia. Iran dituding membantu Rusia dengan drone-drone untuk menyerang Ukraina.
Wacana yang mengatasnamakan kemanusiaan itu dipastikan bakal bereskalasi, karena Iran tergabung satu grup dengan Amerika Serikat, negeri yang berbeda tajam secara ideologis. Dalam peta geopolitik, AS adalah rival terkuat Rusia.
Di luar masalah perang, para aktivis juga mengampanyekan penolakan Iran bermain di Qatar 2022 karena alasan Hak Asasi Manusia. Meninggalnya seorang perempuan, Mahsa Amini yang diduga dianiaya petugas karena mengenakan pakaian tidak pantas, menjadi sorotan internasional.
Sejauh ini, kehendak untuk memisahkan olahraga dari politik tak sepenuhnya bisa dilakukan. Olahraga hanya “jagat kecil” di hadapan “jagat besar” politik.
Maka, tahun depan, ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia U20, Indonesia juga bakal direpotkan oleh kehadiran Israel sebagai salah satu kontestan putaran final.
Bakal adilkah masyarakat internasional bersikap, seperti terhadap Iran? Tak cukupkah perilaku sejarah Israel terhadap Palestina mendorong dunia memosisikannya dalam level di atas invasi Rusia terhadap Ukraina?
Nilai-nilai Kesetaraan
Dari Tanah Air, tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, Malang yang menewaskan lebih dari 130 orang pada September 2022 juga “mengantar” kondisi fokus bangsa Indonesia ke perhelatan akbar di Qatar.
Secara universal, tragedi terburuk kedua dalam sejarah sepak bola dunia itu menjadi masalah internasional.
Setiap kali bicara sepak bola, pikiran kita takkan mungkin terlepas dari malam jahanam itu. Betapa nyawa manusia seolah-olah tanpa harga di hadapan sebuah laga sepak bola, apa pun alasan dan latar belakangnya.
Pada titik yang lain, bukankah The Greatest Show on Earth itu juga menjanjikan ajang “silaturahim global” yang mengendurkan urat-urat ketegangan kemanusiaan?
Dengan sepak bola, kita lupakan pertikaian antarnegara.
Dengan sepak bola, kita renungkan revitalisasi manajemen penyelenggaraan pertandingan dan kompetisi.
Dengan sepak bola, kita cairkan kekeruhan hubungan antarbangsa.
Dengan sepak bola, kita teguhkan kesetaraan dan keberagaman antarmanusia.
Lewat universalitas nilai-nilai sepak bola, kita reduksi sekat agama, ras, dan suku.
Sepak bola telah mengajarkan totalitas spirit kesetaraan.
Saudara-saudaraku, kita tunggu kick off bersejarah di Doha dengan penuh pengharapan; betapa manusia dari seluruh penjuru jagat tersublimasi oleh sejuta rasa dari keindahan permainan olahraga ini.
Laeeeb, sang maskot yang bermakna “bermain”, menandai ajakan sepak bola menjadi permainan yang penuh nilai kegembiraan, memersatukan; penyambung silaturahim manusia sejagat.
Misteri dari setiap laga adalah keindahan yang bakal mewujud lewat “sihir-sihir” Lionel Messi, Kylian Mbappe, Neymar Junior, Gavi, Pedri, Jadon Sancho, juga para kesatria yang datang dari negara-negara Afrika dan Asia.
Sepak bola itu sebercahaya bulan, seterang matahari, dan secemerlang bintang-bintang…
Laeeeb, laeeeb, li’bul kurroh al-qadam…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —