Oleh: Amir Machmud NS
// rindukanlah keabadian/ ketika Arsenal kau kenang/ rindukan keindahan/ saat kau hayati Sang Meriam/ impikan elok sepak bola/ saat kau tafsiri kehidupan//
(Sajak “Arsenal, Arsene, dan Arteta”, 2022)
PASTILAH hanya kebetulan ketika dua nama berawalan “Ar” — Arsene, dan Arteta — berurusan dengan Ar” lainnya, Arsenal; namun takdir sepak bola seolah-olah mempertemukan ketiganya sebagai “DNA” dalam kedahsyatan senyawa.
Di bawah Arsene Wenger, pada sebagian musim 1996-2018 Arsenal menemukan masa-masa kejayaan dengan tiga trofi liga dan tujuh Piala FA. Dan, setelah era pelatih Unay Emery lalu Freddie Ljungberg, baru pada periode 2020 hingga 2022 The Gunners merajut lagi harapan meraih gelar, di bawah “Ar” lainnya, Mikael Arteta.
Yang luar biasa, pada musim 2022-2023 Liga Primer dengan laju ketat ini, Arsenal menjadi tim paling konsisten. Dua kekuatan utama, Manchester City dan Liverpool pun bahkan berada di bawah posisi klasemen The Gunners.
Sejauh ini, baru Manchester United yang mampu menghentikan laju tak terkalahkan Arsenal-nya Arteta. Konsistensi dan performa impresif Meriam London itu, tak pelak memicu diskusi: siapa Arteta yang mampu membawa Arsenal ke status “wow” saat ini?
Baru tiga musim ini dia melatih klub secara mandiri, setelah sebelumnya menjadi tangan kanan Pep Guardiola di Manchester Biru. Jauh hari, Pep sudah memujinya, “Arteta punya etos kerja sangat hebat. Dia memiliki talenta spesial untuk menganalisis apa yang terjadi dan kemudian menemukan solusinya”.
Sorotan terhadap kinerja legenda Arsenal (2011-2016) ini lebih beraksen respek terhadap kejeniusannya. Arteta adalah pemuja keindahan bermain, seperti rata-rata alumni Akademi La Masia yang terdoktrin filosofi sepak bola ofensif Rinus Michels dan Johan Cruyff. Dia menambahkan “aspek pragmatis” yang tidak bergantung pada taktik dan situasi lawan.
Tentu ideologi sepak bola ekspresif dan menghibur yang dia tuangkan tidak bisa dibandingkan dengan pragmatisme ala Jose Mourinho dan Rafael Benitez. Dua tokoh itu, tak jarang bersikap “seburuk apa pun permainan, yang penting menang”.
Sepak Bola Ekspresif
Lantaran perjalanan kepelatihan Arteta yang bersentuhan dengan Pep Guardiola, maka tidaklah berlebihan membandingkan Manchester City dan Arsenal, musim ini.
Kedua tim sama-sama mengusung karakter atraktif, ekspresif, menghibur, sekaligus “kejam menghukum gawang lawan”. Dua arsitek di belakang dua penguasa pucuk klasemen ini tampak punya kesamaan mindset tentang keindahan sepak bola.
Ketika masih mendampingi Pep, para pemain City mengakui Mikael Arteta sebagai eksekutor brilian dari ide-ide sang mentor.
Artinya, kedua pelatih sudah saling mengisi dari penghayatan yang sama tentang pilihan sikap taktik. Tinggal penajaman spesifik seperti apa yang kemudian dituang sebagai kunci strategi bermain, baik untuk City maupun Arsenal.
Kepergian Patrick-Emerick Aubameyang ke Barcelona (kini berlabuh di Chelsea), tidak mengurangi daya gedor Arsenal yang kini bertumpu pada Gabriel Jesus dan Bukayo Saka.
Arteta juga sukses membangkitkan kembali potensi Granit Xhaka dan memantapkan peran Gabriel Martinelli. Anda nikmati pulalah betapa impresif dan penuh kegembiraan bermain Martin Odegaard, Kieran Tierney, Oleksandr Zinchenko, Marquinhos, dan Takeshiro Tomiyasu sebagai kunci-kunci taktik Arteta.
Racikan pria Spanyol itu mampu menghadirkan “DNA” permainan yang mengalir rancak ala “sepak bola sexy” Arsene Wenger pada masa-masa kejayaannya.
Ketika itu Wenger dikelilingi para “penari” David Seaman, Thierry Henry, Denis Bergkamp, Cesc Fabregas, Emmanuel Petit, Robert Pires, Freddie Ljungberg, Marc Overmars, Robin van Persie, Patrick Vieira, William Gallas, dan Tony Adams.
“Arteta-Ball”
“Arteta-ball”, demikianlah fans Arsenal menyebut gaya bermain ekspresif ala Mikael Arteta. Passing cepat, efisien, dan mulai membangun serangan dari belakang. Dia konfiden untuk tidak terikat pada cara bermain yang bergantung pada taktik lawan.
Dengan performa sejauh ini, laju positif dan — kata Arteta — “Permainan yang kami mau”, Arsenal harus membuktikan konsistensi ketika musim masih panjang. Pastilah bukan “tanpa modal apa-apa” mereka berada dalam posisi sekarang.
Setidak-tidaknya, kebekuan kompetisi tercairkan oleh atraktivitas Granit Xhaka cs, untuk menepis fenomena status quo “City lagi, City lagi, Liverpool lagi…”
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —