Oleh Masruri
MENJELANG musim Pilpres/Pilkada, asyik juga membahas ilmu titen yaitu kebiasaan yang dicatat dan diingat para sesepuh siapa yang nanti akan kejatuhan pulung atau wahyu kepemimpinan.
Menurut ilmu titen, ketika Allah sudah berkehendak, sinyalnya dapat dibaca pada alam, melalui isarah hati, impian yang dialami calon dan tanda-tanda alam (hewan, tumbuhan) yang ada di sekitar rumahnya.
Satu dari sekian tanda siapa kandidat yang nanti menang ditandai siapa yang paling berbakti, dekat dan disayang Ibunya. Menurut dhawuh para sesepuh: Sapa sing ndadekke ibune kaya ratu, mangka uripe kaya ratu, lan sapa sing ndadekke ibune kaya batur, mangka uripe ya kaya batur.
Artinya: Siapa yang menjadikan ibunya seperti ratu, maka hidupnya seperti ratu, dan siapa yang menjadikan ibunya seperti pembantu, maka hidupnya pun seperti pembantu.
Tanda dari yang nanti kalah? Biasanya ditandai siapa yang masih memendam dendam, karena dendam itu ibarat batu yang terikat di kaki yang menyebabkan seseorang tak mampu meloncat atau terbang tinggi. Selebihnya.. wallahu a’lam.
Sebagian besar orang Jawa mempercayai ramalan Jayabaya yang dikenal dengan konsep Notonogoro. Konon, dalam ramalan Jayabaya, pengganti Presiden Joko Widodo itu Satriya Piningit. Konsep “Notonegoro” adalah urutan nama-nama yang memimpin Indonesia.
Walau pergantian Presiden masih tiga tahun, di kalangan umum orang sudah mulai othak-athik siapakah Presiden RI setelah masa pemerintahan Pak Jokowi? Ramalan Jayabaya oleh sebagian orang dipercaya benar tentang siapa Presiden pengganti Jokowi.
Satriya Piningit
Secara alamiah, warga mulai “mengelus” sejumlah figur yang mulai diraba-raba untuk calon presiden, meski sampai saat ini belum satu pun nama yang merujuk dari semua partai politik yang dilakukan saat ini baru sebatas meraba-raba.