blank
Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, menjadi sentra batik, yang eksis sejak Tahun 1910. Jumlah pengrajinnya ada 13 dengan 850 pembatik.(SB/Bambang Pur)
WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Festival Kopi dan Batik Wonogiren, digelar di Alun-alun Giri Krida Bakti Wonogiri. Berlangsung mulai Sabtu malam nanti (1/10) sampai dengan Minggu malam (2/10) besok.

Kabag Prokopim Pemkab Wonogiri, Mursid Suroto dan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi UMKM Wonogiri, Wahyu Widayati, mengatakan, festival digelar erat kaitannya dengan Hari Kopi se dunia (International Coffe Day) Tanggal 1 Oktober dan pengakuan batik sebagai warisan dunia Tanggal 2 Oktober.

Sebagaimana diketahui, Badan Dunia PBB bidang Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan atau UNESCO, menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009.

Di Wonogiri, ungkap Kabid Perdagangan Sunardi, terdapat 21 pengrajin batik dengan jumlah 950 orang pembatik. Tersebar di 7 kecamatan, yakni Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri Kota, Kismantoro, Selogiri, Pracimantoro, Sidoharjo dan Ngadirojo. Tirtomoyo menjadi sentra batik, dengan 13 pengrajin dan 850 pembatik.

Terkait dengan Batik Wonogiren, itu telah dibakukan dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Wonogiri Nomor: 431/03/501/1993 tentang Batik Khas Wonogiri (Batik Wonogiren).

Ciri khas Batik Wonogiren memiliki dasar gurat babaran jene (kuning kecoklat-coklatan), retak-retak/pecah-pecah (tidak utuh), dengan motif bledak. Batik Wonogiren dapat dibuat untuk semua pola batik, dengan sekaran atau lukisan bebas.

Karya Cacat

Untuk membuat SK pembakuan Batik Wonogiren, Bupati Wonogiri Oermasono pada Tahun 1993, lebih dulu menggelar sarasehan dengan mengundang pakar batik H Kaharudin Hartoyo (Tirtomoyo, Wonogiri) dan Raden Ayu (RAy) Praptini Partaningrat (Bangsawan Mangkunegaran Surakarta yang juga Pengusaha Batik Kanjengan Surakarta).

Secara khusus, Oemarsono sebagai Bupati Wonogiri dua periode (1985-1995) juga meminta Wartawan Suara Merdeka Bambang Pur untuk membuatkan narasi untuk lampiran SK Bupati tentang Batik Wonogiren.

Berbicara Batik Wonogiren, mengingatkan pada keris berbilah Pamengkang Jagad dan Sumur Bandung. Kedua jenis keris ini, memiliki kesamaan ciri dengan Batik Wonogiren. Sama-sama sebagai karya yang sebenarnya ‘gagal’ saat diproses, karena memiliki cacat.

Cacat dalam Keris Pamengkang Jagad, karena ketika dibuat (ditempa) oleh Empu memunculkan pecah di tengah bilahnya. Demikian halnya dengan Keris Sumur Bandung, ada lubang pada bilah. Pecah dan lubang pada bilah tersebut, tercipta tanpa sengaja.

Demikian halnya dengan Batik Wonogiren, saat dibuat dasaran untuk Corak Bledak, memunculkan gurat-gurat pecah yang terjadi tanpa kesengajaan. Namun cacat pecah pada Keris Pamengkang Jagad dan lubang pada Keris Sumur Bandung, serta gurat-gurat pecah (tidak utuh) pada Batik Wonogiren, justru memberikan nilai berbobot yang spesifik dan digandrungi konsumen (Suara Merdeka, 1 Juli 1993).

Bambang Pur