blank

Oleh : Hadi Priyanto

Karena kami menaruh minat besar  kepada para seniman kami, menghayati sspenuhnya seni mereka. Rasanya saya juga seolah-olah menjadi ibu rohani ciptaan mereka.

                                  RA Kartini dalam suratnya kepada Ny. Abendanon  9 Maret 1903

Peradaban Seni Ukir Jepara telah dimulai sejak zaman Ratu Shima. Ratu Kerajaan Kalingga ini singgasananya terbuat dari gading gajah berukir.  Kemudian ketika Ratu Kalinyamat berkuasa, seni ukir telah mulai dikembangkan sebagai komoditas ekonomi, baik untuk hiasan kapal maupun peralatan rumah tangga.  Artefak seni ukir masa Ratu Kalinyamat masih nampak jelas di masjid Mantingan. Salah satu sisa peninggalan seni ukir  tertua yang masih tersisa.

Berikutnya momentum yang nampak jelas berpengaruh besar terhadap perkembaangan seni ukir adalah pada kiprah dan peran RA Kartini.  Kepekaan RA Kartini terhadap persoalan yang ada disekelilingnya dan kecintaannya pada seni ini yang mengantarkan ia begitu menghayati karya seniman ukir Jepara dan mencoba membangkitkan dari tidurnya yang panjang.

Karya mereka sangat indah. Namun mereka hidup miskin dan tinggal di rumah-rumah reyot dari bambu dan beratap daun rumbia.  Mengapa bisa terjadi?.  RA Kartini menemukan jawabnya. Karya seniman itu dijual dengan harga murah. Mereka hanya berkarya dan bukan bekerja atas dasar pesanan. Karena itu mereka tidak memiliki posisi tawar.

Karena itu ketika RA Kartini mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan karyanya dalam pameran Nationale Tentoonstelling voor Vrouwnarbied  atau Pameran Karya Perempuan di Den Haag Belanda, ia kirimkan 23 karyanya. Diantaranya adalah dua buah lukisan pemandangan alam dengan bingkai kayu ukiran, lukisan dalam bingkai kayu still rococo, 6 buah bambu berukir, dan tulisan tentang proses membatik disertai dengan alat-alat yang digunakan untuk membatik.

Karya seni RA Kartini dan dua adiknya, RA Rukmini dan RA Kardinah ini berhasil menarik perhatian Ratu Belanda,  Wilhelmina dan Ibu Suri Ratu Ema. Bahkan mereka meminta  kepada ketua penyelenggara pameran, Ny. Lucardie untuk  membaca surat pengantar dari RA Kartini. Kejadian yang luar biasa ini ditulis di surat kabar De Roterdames Caurant tanggal 30 Agustus 1898.

Pameran  yang berlangsung pada bulan  Juli – September 1898 ini, sekaligus mengantarkan RA Kartini  dikenal di Belanda sebagai seorang putri bangsawan Jawa yang memiliki perhatian besar terhadap perkembangan kerajinan dan seni ukir. Tentu ini sangat menggembirakan Kartini dan kedua adiknya dan sekaigus memperkuat  niatnya untuk menolong para perajin Jepara meraih  harkat dan martabatnya sebagai seorang   seniman Jawa.

Karena itu, RA Kartini kemudian memanggil 12 orang seiaman ukir dari Belakang Gunung yang menyebutnya sebagai bendoro putri. Di bawah bimbingan Singowiryo mereka bekerja di bengkel Kartini. Para seniman ini diminta oleh Kartini untuk membuat  barang-barang kecil seperti tempat rokok, tempat perhiasan, tempat jahitan dan produk lainnya.

Keindahan karya perajin Belakang Gunung ini ditulis oleh RA Kartini dalam  prosa berjudul “Van en Uithockje” atau Pojok  yang Terlupakan. “Siapakah yang telah membentuk mereka? Menuntun mereka anak-anak sawah dan ladang, yang adoh lonceng perak celeng? Siapakah yang menuntun sampai bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang begitu elok dan menggambarkannya begitu sempurna? Gambaran  mereka yang murni dan sempurna,  kesemuanya sangat harmonis. Bagaimana mungkin ditempat yang sangat sederhana itu yang jauh dari dunia beradab”

Setelah jadi barang-barang ini dijual Kartini ke Batavia dan Semarang dengan harga yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga penjualan di Jepara. Setelah dipotong dengan biaya pengiriman dan harga bahan baku, uang penjualan diberikan kepada para perajin. Ini merupakan babagan baru, meningkatnya kesejahteraan perajin.

Karena motif-motif yang dikerjakan oleh bengkel Kartini bagus dan indah, akhirnya pesanan terus berdatangan. Bahkan kemudian berkembang menjadi perkakas rumah tangga berukir seperti meja, kursi, almari, kursi pengantin dan tempat tidur. Pada  tahun 1899 RA Kartini mulai mendapatkan  mendapatkan  pesanan dari Oeost en West. Tujuan lembaga ini adalah membantu memasarkan hasil kerajinan masyarakat Bumiputera. Keduanya kemudian bekerjasama.

Pada tahun 1902, RA Kartini mendapatkan pesanan yang cukup bayak dari Oeost en West untuk perperluan pesta Sinterklas pada buan Desember 1902. Juga pesanan barang lain yang terus berdatangan dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan juga mulai mengerjakan pesaanan motif-motif Eropa.

RA Kartini tentu saja  sangat gembira seperti yang diungkapkan RA Kartini dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tanggal 15 Agustus 1902, “ Hore….. untuk kerajinan dan kesenian rakyat kami. Hari depanmu pasti akan gemilang! Aku tak dapat mengatakan betapa girang dan bahagianya aku. Kami mengagumi rakyat kami. Kami bangga atas mereka. Rakyat kami yang kurang dikenal, karena itu juga kurang dihargai… Hari depan seniman Jepara sekarang terjamin.

Walaupun pesanan semakin banyak, RA Kartini masih saja menulis tentang keindahan seni ukir Jepara seperti yang dilakukan di surat kabar Eigen Haard yang terdiri dari beberpa tulisan. Karangan kartini tentang ukir yang disertai dengan gambar ukiran Jepara ini juga  diterbitkan dalam surat kabar berbahasa Melayu, Pewarta Warna.

Keberhasilan RA Kartini dalam mengembangkan seni ukir ini dilanjutkan oleh Bupati Jepara RMAA Koesoemo Oetoyo yang menggantikan  RMAA Sosroningrat. Ia mewajibkan seluruh sekolah di Jepara  untuk memberikan pengajaran tentang seni ukir.

Karena perkembangan seni ukir yang telah dirintis oleh RA Kartini ini kemudian  pemerintah Hindia Belanda mendirikan Openbare Ambachsshool atau sekolah pertukangan jurusan seni ukir pada tahun 1929. Sekolah ini menjadi awal  pendidikan bagi perajin-perajin ukir Jepara hingga dapat mengembangkan warisan leluhurnya.

Mengapa Jepara ?

Seni ukir bagi masyarakat Jepara bukan saja menjadi kekuatan budaya tetapi juga ekonomi. Bahkan peradaban masyarakat Jepara sangat dipengaruhi oleh seni ukir  dan sekaligus menjadi kekuatan komparatf masyarakat Jepara. Jepara sekitar tahun 1960-1970  Jepara mulai dikenal  sebagai kota ukir dan  kemudian mencoba membangun branding baru, Jepara The Word Carving Center.

Dari perspektif ekonomi, seni ukir yang menadi bagian terbesar dari kayu olahan juga menjadi penyumbang terbesar Produk  Domestik Regional Bruto sejak taun 1998. Sektor ini melampaui kontribusi sektor pertanian yang sebelumnya selalu memimpin di peringkat tertinggi. Ini berarti sumbangan sekor kayu olahan menjadi penyangga utama  income perkapita penduduk Jepara.

Seni ukir Jepara juga telah dipatenkan melalui Indikasi Geografis atau IG. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yag menunjjukkan daerah asal barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau komninasi dari kedua faktor  tersebut memberikan  ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Perlindungan Indikai Geografis  merupakan payung hukum hak kekayaan intelektual untuk menjaga dan melindungi karakyeruistik, kualitas,  dan kelangsungan mebel ukir Jepara.  Masyaraka Jepara juga telah membentuk Jepara Indikasi Geografis  untuk  melakukan upaya perindungan terhadap karakteristik ukiran Jepara dan sekaligus menjaga kualitasnya.

Seni ukir  Jepara ejak tahun 2015  juga telah ditetapkan menjadi salah satu kekayaan budaya nonbenda di Indonesia. Karena itu harus dilindungi agar tidak punah. Karena itu tidak ada daerah lain di Indonesia  yang layak disebut sepadan dengan Jepara ketika berbicara tentang seni ukir

Mengapa Perlu Deklarasi ?

Predikat Jepara sebagai kota ukir yang mulai melekat pada kota ini mulai tahun 60 – 70-an, kini mulai terancam. Sebab tidak banyak anak muda yang bersedia lagi mewarisi tradisi leluhurnya. Akibatnya perajin ukir semakin langka di kota yang mencoba membangun branding baru The Word Carving Center, Pusat Ukir Dunia.

Ada sejumlah catatan penulis mengapa seni ukir yang hampir tiga   dasa warsa  memberikan kontribusi dominan terhadap perekonomian daerah ini  menghadapi pesoalan serius  dari aspek pelestarian. Karena it perlu diciptakan momentum untuk mendorong semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk tumbuh kesadaran dan komitmennya.

Pertama, Jepara sampai saat ini  belum memiliki peta jalan pelestarian seni ukir yang dapat menjadi panduan arah bersama untuk bergerak secara sinergis dan kolaboratif.

Kedua,   sejumlah regulasi di daerah yang telah diterbitkan juga tidak dilaksanakan secara maksimal.  Ada  Perda tentang Pendidikan yang mewajibkan semua satuan pendidikan menjadikan seni ukir sebagai muatan lokal. Juga  Peraturan Bupati tentang Ornamen Ukiran pada Bangunan  dan  Perda No 2 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan, Perlindungan dan Pembinaan Industri Mebel.

Ketiga, tidak ada  lagi  lembaga pendidikan baik formal maupun non formal  yang dapat melahirkan tenaga ukir terdidik dan terampil sejak tahun 1979. Pasca reformasi Kelas Pembangunan yang memberikan kursus seni ukir bagi anak-anak putus sekolah juga kemudian ditutup.

Keempat, posisi tawar tukang ukir yang rendah nampak pada upahnya  yang rendah jika dibandingkan dengan sektor lainnya juga menjadi penyebab ditinggalkannya  seni ukir oleh generasi muda. Upah tukang ukir terampil di Jepara hanya berkisar Rp.80 ribu – Rp. 100 ribu. Sedangkan penghasilan tukang kayu dan tukang batu bisa mencapai Rp. 120 ribu – Rp 150 ribu.

Kelima, investasi yang mulai masuk ke Jepara tahun 2013 lebih memberikan kepastian tingkat kesejahteraan pekerjanya jika dibandingkan bekerja di brak-brak mebel. Juga terbukanya peluang anak usia produktif untuk bekerja di sektor lain seperti pariwisata.

Keenam, kurang diberdayakan  tukang ukir untuk meningkatkan keterampilannnya, termasuk tidak dilibatkannya dalam pengambilan kebijakan. Akreditasi perajin ukir yang diharapkan menjadi salah satu pintu pembuka untuk meningkatkan upah juga belum dapat diimplementasikan.

Ketujuh, regulasi, harga,  tata niaga kayu juga tidak sepenuh berpihak pada perajin kecil hingga mereka mendapatkan harga yang relative mahal. Sedangkan nilai jual produk tidak  sangat ditentukan oleh pasar dan pemilik modal.

Kedelapan, seni ukir hanya dilihat dari perspektif ekonomi dan tidak dimaknai sebagai produk budaya yang harus dijaga dan dilestarikan bersama.

Menciptakan momentum

Latar belakang diatas  yang melandasi mengapa Deklarasi Hari Ukir perlu dilakukan di Jepara. Tujuannya semata-mata untuk menciptakan momentum dan membangun stretegi serta kepekaan  bersama untuk melestarikan seni ukir yang selama ini  terbukti telah kekuatan kultural masyarakat  Jepara. Namun seni adhiluhung ini kini  terancam ditinggalkan para pewarisnya.

Pengambilan tanggal 20 Agustus sebagai Hari Ukir diambilkan dari salah satu waktu yang tercatat sejarah,  saat  RA Kartini mengikuti Pameran Karya Perempuan di Den Haag Belanda dari buan Juli – September 1898. Pamran ini menjadi pintu pembuka bagi usaha pengembangan seni ukir Jepara dan bahkan menjadikannya sebagai  industri kerajinan.

Tanpa mengabaikan peran tokoh lain, kiprah RA Kartini dalam mengembangkan seni ukir perlu terus diingat, dikenang dan diwarisi semangatnya. Deklarasi ini juga menjadi bagian penting dalam menjadikan RA Kartini sebagai kekuatan absolut Kabupaten Jepara.

Sedangkan Agustus dipilih, karena bulan ini merupakan saat Proklamasi Kemerdekaan RI. Harapannya, semangat pelestarian seni ukir dapat menjadi salah satu isu yang terus dibangkitkan sebagai wujud cinta tanah air.

Penulis adalah Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara dan Ketua Yayasan Kartini Indonesia yang dikenal sebagai salah satu pegiat budaya Jepara.