blank
Bergembira ria menunaikan nazar. Foto: Dok Masruri

blank

RUMAH di belakang anak-anak yang sedang meloncat ini punya kisah tersendiri. Posisi rumah itu ada di samping timur rumah saya. Sebelum dibangun rumah, di situ tanah kosong.

Ketika ada warga sedang konflik dengan saudaranya hingga ada yang terusir dari rumahnya, itu  mengutarakan keinginannya untuk membeli tanah orangtua saya, yang posisinya ada  di timur bangunan rumah saya.

Karena iba, keluarga kami mempersilakan, bahkan tetangga itu diberi keringanan harga, bahkan dibolehkan mengangsur jika nanti sudah ada rezeki. Karena merasa tertolong, saking senangnya, janda itu ikrar, besuk akan merawat Ibu saya sepanjang hidupnya.

Baca juga Keajaiban Doa dan Ilmu Yakin

Ternyata, niat baik itu tidak kesampaian, karena dia meninggal duluan. Dan setelah itu menyusul anak lelakinya, sehingga rumah itu  suwung atau tidak berpenghuni.

Tamu Jakarta

Tiga bulan kemudian ada sahabat  dari Jakarta silaturahmi ke rumah saya. Beliau tanya status rumah kosong itu dan saya jawab, kosong. Karena pemilik dan anaknya meninggal, dan anak-anak yang perempuan sudah punya rumah.

Tamu itu lalu berkata, “Pak, bagaimana kalau rumah itu saya beli, biar nanti bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum, belajar, bermain, membaca (perpustakaan) pelatihan terapi, bekam, pijat, dsb.”