blank
Romelu Lukaku. Foto: intertv

blankOleh: Amir Machmud NS

// di balik kerlap sepak bola/ tak cuma memancar cahaya/ ada manusia-manusia/ dengan angan dan impian/ dan, di belakang panggung/ tak jarang kita temui sisi gelapnya//
(Sajak “Drama-drama Manusia”, 2022)

PERCAYAKAH Anda, sebagian dari jalan sepak bola adalah drama?

Tak hanya panggung unjuk pintar mengolah sebuah bundaran berisi udara. Tak hanya forum mengeksplorasi tesis, antitesis, dan sintesis taktik. Pun, tak hanya ajang memamerkan gravitasi dan seni mencetak gol.

Lebih dari semuanya, sepak bola adalah juga tonil global drama manusia.

Saat ini pun boleh jadi Anda masih menyimak tarik-ulur Cristiano Ronaldo. Pemain besar yang merengek meminta pindah dari Manhester United. Serumit itu. Seberliku itu…

Tentu kita simak pula, riuh spekulasi tentang bomber maut Norwegia Erling-Burt Haaland yang akhirnya berhenti, setelah dia memilih berlabuh di Etihad untuk mempertajam mesin penggempur Manchester City.

Perjalanan Lukaku
Elemen-elemen dramatika sepak bola, tak bisa dipungkiri, adalah panggung hati dan perasaan manusia.

Dan, Anda tentu mencatat kembalinya Romelu Lukaku ke Internazionale Milan dengan status pinjaman dari Chelsea. Inilah drama tentang haru-biru dan rasa nyaman yang tak semuanya terjawab dengan uang dan profesionalisme industri kompetisi.

Sukses dalam dua musim (2019-2021) bersama La Beneamata, Big Rom memilih hijrah ke Chelsea, tetapi striker asal Belgia itu boleh dibilang gagal total.

Performa buruk di Stamford Bridge berujung kegalauan. Terang-terangan menyatakan rindu untuk kembali ke Inter menyulut pertikaian dengan pelatih Thomas Tuchel dan amarah fans.

Lukaku memang tetap dirindukan di Inter, walaupun kepindahannya ke Chelsea setahun silam menyulut kekecewaan Interisti. Toh, kini dia disambut dengan harapan besar untuk kembali membawa Nerazzurri meraih scudetto.

Striker Lautaro Martinez menyambut bahagia kehadiran kembali tandem istimewanya itu. Tokoh sepak bola Italia, Arrigo Sacchi yakin Lukaku akan kembali jadi faktor pembeda.

Pun, sosok lain merindukannya. Dia Zlatan Ibrahimovic, yang mengaku punya urusan dengan Lukaku yang belum selesai.

Kedua “dewa” di San Siro dengan beda jersey itu ketat berseteru pada musim 2020-2021. Dalam laga Coppa Italia, keduanya terlibat saling provokasi.

Klaim “status kedewaan”, saling ejek yang menjurus rasis, mengintimidasi, dan membuktikan kontribusi, mewarnai rivalitas dua pemain berpostur raksasa itu.

Zlatan masih menyimpan dendam. Dalam buku terbarunya, Adrenaline: Untold Story, pemain asal Swedia itu merasa urusannya belum selesai, dan dia berniat menuntaskan di lapangan.

Relasi panas kedua bomber yang ditakdirkan bertemu dalam “Derby della Madonnina” itu menjadi bagian dari proyeksi jalan drama musim ini.

Karakter Zlatan membuka potensi itu. Tentu dia sadar, usia yang merambat bakal mempengaruhi performanya.

Dengan membangun opini yang memviralkan sebuah magnet dramatika, dia akan menjaga eksistensinya dalam orbit elite. Setidak-tidaknya tetap menjadi topik yang dibicarakan.

Pada sisi lain, “rongrongan” Zlatan menjadi sambutan selamat datang yang bagai api dalam sekam.

Pun, bagi Big Rom, ini adalah tantangan lain di luar realitas betapa dia dituntut membuktikan tak salah merindukan kembali ke San Siro. Jika melempem seperti di Stamford Bridge, risiko logisnya dia bakal menjadi bulan-bulanan fans Inter dan Chelsea.

Drama-drama
Sepak bola mencatat drama perseteruan anak-anak manusia di luar wilayah teknis.

“Benturan” penyerang Prancis Battiston versus kiper Jerman Harald Schumacher di semifinal Piala Dunia 1982 dikenang sebagai “body charge” brutal. Tinju Schumacher merontokkan gigi-gigi Battiston. Dikecam luas, akhirnya kiper nyentrik itu mengunjungi rivalnya di rumah sakit dengan membawa seikat bunga.

Pada 24 September 1983, kaki Diego Maradona yang memperkuat Barcelona dipatahkan oleh “Jagal dari Bilbao” Andoni Goeikotxea dalam sebuah laga di La Liga. Jimmy Burns dalam buku Maradona: Hand of God mencatatnya sebagai tekel terburuk dalam sejarah Liga Spanyol.

Perseteruan ikonik juga tercipta di La Liga setiap kali Lionel Messi berhadapan dengan Sergio Ramos dalam el clasico Barca versus Real Madrid. Kini, kedua rival itu rukun bermain di satu klub, Paris St Germain.

David Beckham pernah punya stori dengan Diego Simeone di perdelapan final Piala Dunia 1998. “Sepakan kuda” Beckham karena terprovokasi Simeone membuat ia mendapatkan kartu merah, dan relasi panas itu berjalan panjang.

Satu lagi, “brutalitas” Roy Keane kepada Alf-Inge Haaland dalam pertandingan Liga Inggris pada 2001 menjadi drama sepak bola tak terlupakan. Pengakuan Keane bahwa insiden itu dia sengaja, bagai membumbui sisi kelam sepak bola.

Akankah “serial” Lukaku – Zlatan dalam potensi drama Liga Seri A menjadi bagian berikut lembar muram sepak bola?

Atau, jangan-jangan, dalam keping budaya pop, “jilatan api” itu justru menjadi elemen yang dikelola agar berdaya jual?

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah