Foto: dokumentasi Koalisi Seni.

SUARABARU.id, Jakarta – Koalisi Seni meminta pemerintah mengevaluasi perbedaan angka pajak hiburan pada berbagai bentuk kesenian di daerah. Berdasarkan riset yang dilakukan lembaga nirlaba yang bergerak di bidang advokasi kesenian ini, persentase pajak hiburan yang diskriminatif mempengaruhi keberlangsungan bentuk seni tertentu.

“Pengenaan pajak yang tinggi membuat bentuk seni tertentu menjadi tidak menarik bagi pelaku usaha. Akibatnya, akses masyarakat terhadap seni menjadi terbatas,” ujar Ketua Pengurus Koalisi Seni Kusen Alipah, di Jakarta, 13 Juli 2022.

Melanjutkan riset yang dilakukan pada 2019, Koalisi Seni mendalami peraturan daerah terkait kebudayaan dan pajak hiburan di 508 kabupaten/kota di Indonesia. Dari situ Koalisi mendapati, pemerintah daerah cenderung memproyeksikan bidang seni sebagai objek pajak, ketimbang mendorong pemajuannya. Kondisi ini patut dikritisi, mengingat aturan pajak hiburan sendiri hingga kini belum memiliki standardisasi. Baik itu perihal kategorisasi seni yang menjadi objek pajak, maupun persentase pungutannya.
Belum adanya standardisasi ini membuat bentuk seni tertentu rentan mengalami kemunduran.

“Di sisi lain, ada potensi pemda bisa sewenang-wenang menentukan bentuk seni tertentu yang ingin mereka majukan,” kata Koordinator Riset Koalisi Seni, Ratri Ninditya.

Ratri menjelaskan, dari 508 kabupaten/kota di Indonesia, 367 di antaranya memiliki peraturan daerah tentang pajak hiburan. Adapun dari seluruh kabupaten/kota tersebut, hanya 105 daerah yang mempunyai perda terkait kebudayaan, dan 72 di antaranya spesifik merujuk pada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK).

“Dari situ kita bisa melihat, aturan soal pajak seni tiga kali lipat lebih banyak dibanding regulasi pemajuan kebudayaan,” ujarnya.

Menurut Ratri, sejatinya tak ada yang salah dengan keberadaan pajak hiburan. Namun idealnya, pendapatan dari pajak hiburan itu juga ikut dirasakan pelaku seni, untuk mengembangkan diri dan ekosistemnya.

Hal itu sudah diterapkan di sejumlah negara, seperti Prancis dan Swiss yang mengalokasikan pajak hiburan untuk mengembangkan seni alternatif yang bisa dijangkau banyak orang.

Persentase pungutan dan kategorisasi pajak hiburan sebetulnya sudah diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diperbaharui dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam aturan baru, seluruh jasa hiburan dan kesenian masuk dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu dan dikenakan tarif maksimal 10%, kecuali kategori “diskotek, kelab malam, dan bar” yang ditentukan 40%-75%. Adapun objek pajak hiburan umumnya dikategorisasi menjadi: ‘tontonan film’, ‘pagelaran musik dan tari’, ‘pameran’, ‘kesenian tradisional’, dan ‘diskotek, karaoke, klab malam, dan sejenisnya’ (untuk kemudahan, selanjutnya disebut ‘hiburan malam’).

Walau aturan itu memberi keleluasaan bagi pemda untuk merancang tarif pajak hiburan, Koalisi Seni menilai perbedaan persentase pungutannya tergolong ekstrem. Jenis hiburan dengan peminat relatif banyak dan skala lebih besar, dikutip pajak lebih tinggi. Sebaliknya, hiburan seni yang sepi peminat dibebankan pajak lebih rendah.

Dari seluruh peraturan yang ditemukan, pajak paling tinggi ditemukan pada kategori hiburan malam dan pagelaran musik, subkategori musik internasional, yaitu sebesar 75%. Pengenaan pajak pada kategori pagelaran musik jelas jauh di atas ketentuan yang tertera di UU, walaupun masih sesuai untuk kategori hiburan malam.

Di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, pengenaan pajak 75% pada pagelaran musik internasional, kontras dengan ajang musik berskala nasional yang hanya dipungut pajak 35%. Untuk kategori hiburan malam, terdapat 37 kabupaten/kota yang mengenakan pajak hingga 75%, dan 40 kab/kota yang menerapkan pajak 50% dalam kategori tunggal (tidak memisahkan diskotek/klab malam dan karaoke).

Ruang lingkup kategorisasi yang kurang jelas ini berpotensi menimbulkan persoalan. Contohnya pemerintah Kota Palangkaraya, DKI Jakarta, dan Kabupaten Kutai Kartanegara, yang menggolongkan live music sebagai hiburan malam. Sementara kategori pagelaran musik, dibebankan persentase pajak yang berbeda. Apa perbedaan live music dan pagelaran musik, tidak dijelaskan lebih lanjut.

DKI Jakarta juga menambahkan deskripsi ‘DJ (disk jockey)’ di dalam kategori hiburan malam. Kategorisasi yang rancu juga ditemukan di Kabupaten Bombana dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Di sana, ‘pertunjukan kesenian’ dipisahkan dari film, tari, dan musik, dengan persentase pajak yang berbeda.

Selain potensi ekonomi hiburan, pengenaan tarif pajak juga didasarkan pada ‘nilai budaya hiburan’. Alasan kedua ini muncul pada kategori kesenian tradisional. Banyak daerah memberi keringanan hingga pembebasan pajak pada seni tradisi karena dianggap melestarikan kebudayaan, punya motif sosial, dan bagian dari ritual adat atau agama masyarakat lokal.

Koalisi Seni menemukan 48 kabupaten/kota dan 1 provinsi yang membebaskan pajak hiburan untuk seni tradisi. Sementara 92 kabupaten/kota lainnya, mengenakan persentase pajak kecil untuk seni tradisi, yaitu sebesar 5%. Hal ini positif, tapi akan menjadi masalah ketika definisi tradisi hanya merujuk ke ekspresi budaya kelompok tertentu. Padahal, seni, sebagai bagian dari kebudayaan, adalah sesuatu yang hidup dan terus berubah. Bagaimana, misalnya, bentuk-bentuk seni yang kosmopolitan, yang merupakan percampuran banyak budaya, seperti dangdut?

“Jika house music dangdut campursari dipertunjukkan di klab malam, maka masuk kategori mana? Bagaimana dengan pertunjukan kontemporer yang berbasis tradisi?”, kata Ratri.

Sebaliknya, ada daerah yang secara eksplisit memberlakukan pajak tinggi terhadap bentuk seni yang bertentangan dengan nilai budaya setempat. Kabupaten Pidie, misalnya, mengenakan pajak 50% terhadap semua jenis kesenian kecuali yang bernapaskan Islam. Sejalan dengan pernyataan Majelis Ulama Aceh akan larangan bioskop, dalam peraturan tertulis tentang pajak hiburan, bioskop Pidie juga dikenakan pajak 50% tanpa terkecuali. Dua kebijakan ini, menurut Ratri, akan semakin menghalangi pelaku usaha berinvestasi dalam industri bioskop di Aceh.

Karena itu Koalisi Seni mendorong agar pemerintah daerah segera mengevaluasi perbedaan persentase pajak hiburan ini. Pemerintah juga mesti merevisi kategori seni yang masih kabur definisinya, serta mengupayakan agar pajak hiburan bisa bermanfaat bagi pemajuan kebudayaan.

“Tentunya dengan mempertimbangkan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sebagai turunan UU Pemajuan Kebudayaan,” ujar Ratri.

*Artikel ini merupakan press release dari Koalisi Seni, lembaga nirlaba yang bekerja membangun ekosistem seni lebih baik di Indonesia. -Sofie