blank

Foto ilustrasi, antre dalam pemilihan kepala desa pada masa dulu. Foto: Dok MAsruriKarena tokoh muda itu meyakini hitungan itu termasuk syirik, bahkan dia melakukan perlawanan terhadap ilmu ramalan itu secara frontal dan dampaknya. Karena dianggap tidak menghargai

“adat” maka  sebagian masyarakat desa itu memboikot untuk tidak melakukan ibadah di tempat itu.

Padahal, jika dia mau “mengalah” sedikit, berbasa-basi bertanya hari apa yang terbaik untuk memulai pembangunan, maka orang yang merasa dituakan itu lebih mudah diajak kompromi.

Orang Jawa, karakteristiknya seperti huruf Jawa, jika dipangku,  mati, manut, atau “kalah”.  Dengan cara mengalah untuk memudahkan tujuan itu pernah dilakukan calon kepala desa.  Aslinya dia tidak percaya dengan jimat, pusaka, dan ilmu-ilmu ramalan. Namun ketika dia akan maju sebagai calon kepala desa, beberapa orang yang dituakan di desanya didatangi. Ada ada yang dimintai ilmu, bahkan ada yang dipinjami jimat, dsb.

Pertimbangan dia, orang yang merasa dimintai bantuan secara metafisik (doa, mantra), mereka akan berusaha memberikan suaranya, maka seluruh keluarga dan murid-muridnya kepada calon itu. Sebab jika yang dipinjami jimat itu tidak terpilih, maka reputasi ilmu dan jimatnya akan terpuruk.

Saya termasuk orang yang tidak begitu terikat dengan dengan keyakinan terhadap hari-hari yang katanya dapat memengaruhi naas maupun keberuntungan. Namun dalam banyak hal, tetap bisa kompromi, sebatas menghargai pribadi para sesepuh desa.

Masruri, penulis buku praktisi dan knsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati