Hanya saja, pada tahun 2014 hingga 2015, pihak BBWS melakukan pemasangan patok di sekitar lahan tersebut.
“Mengapa pada tahun 2014 hingga 2015, BBWS memaang patok? Apa yang mendasari BBWS mengklaim tanah itu, sebab itu tanah timbul, yang semula sungai. Artinya, tanah tersebut sudah masuk obyek reforma agraria (TORA),” ungkap Muhammad Fajar Andhika.
Pria yang akrab disapa Dhika ini mengungkap, jika tanah itu masuk dalam tanah objek reforma agraria (TORA), maka masyarakat bisa memiliki dengan status hukum yang jelas.
Dhika juga menyebut, tanah yang digarap para petani ini sudah jelas mempunyai manfaat, seperti dapat menyekolahkan anak-anak mereka dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9 UUPA Nomor 5 Tahun 1965, yakni setiap warga negara baik laki-laki atau perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya,” ungkap Dhika.
Sementara itu, Wandi (83), petani yang turut menggarap lahan di Kalimati yang hadir dalam audiensi tersebut mengeluarkan pendapatnya.
“Kita para warga petani sudah menggarapnya sejak zaman nenek moyang kami secara turun temurun dan sumber mata kehidupan kami hanya dapat diperoleh dari hasil lahan pertanian tersebut,” ungkap Wandi.
Edy Haryono mengungkapkan bahwa kedatangan mereka ke Kantor ATR/BPN Grobogan ini guna meminta kejelasan terkait dengan tanah yang digarap warga tersebut.
Bahkan, warga juga meminta agar lahan mereka segera mendapatkan sertifikat sehingga dapat legal dalam menjalankan penggarapan tanahnya tersebut.
“Warga ingin segera mendapatkan sertifikat agar bisa lebih legal untuk menggarap lahan, serta meminta kejelasan terkait lahan yang mereka garap tersebut secara turun-temurun,” jelas Edy Haryono.
Tyaning Wiedya