Foto: Dokumentasi Koalisi Seni.
Foto: Dokumentasi Koalisi Seni.

SUARABARU.id, Jakarta – Lima tahun setelah Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK) disahkan, Pemerintah akhirnya meluncurkan Dana Indonesiana. Dana ini diharapkan dapat menjaga nyala api berbagai kegiatan pemajuan kebudayaan di Nusantara.

Namun Koalisi Seni, yakni lembaga nirlaba yang bergerak di bidang advokasi kesenian dan seniman, melihat masih banyak masalah dalam proses pemajuan kebudayaan. Hal ini meliputi penyusunan dokumen pedoman pemajuan kebudayaan, yaitu Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).

Sejak pembuatan PPKD pertama kali diamanatkan melalui Peraturan Presiden No 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan (Perpres PPKD), baru 34 PPKD provinsi dan 393 kabupaten/kota yang memiliki PPKD.

“Angka itu masih di bawah ekspektasi, mengingat ini sudah masuk tahun kelima implementasi perpres tersebut,” kata Wakil Ketua Koalisi Seni, Kartika Jahja pada Rabu (29/6/2022).

Idealnya, seluruh kabupaten, kota dan provinsi telah selesai menyusun PPKD sebelum Strategi Kebudayaan dirumuskan pada KKI 2018. Sebab, PPKD Provinsi maupun Kab/Kota akan digunakan sebagai basis dari Strategi Kebudayaan Daerah, atau acuan dari Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Tanpa data yang valid, sumber daya objek pemajuan kebudayaan di Indonesia sulit untuk membangun visi yang konkret dalam memajukan kebudayaan ke depannya.

PPKD penting karena menjadi awal dari pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan di level daerah. Dokumen inilah yang mendorong urusan seni budaya untuk memiliki basis yang konkret sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Hal itu sesuai dengan ketentuan Perpres PPKD yang mengamanahkan implementasi pemajuan kebudayaan harus disertai tujuan, sasaran, tahapan kerja, capaian tiap tahapan kerja dan indikator capaian.

“Dengan begitu, urusan seni tidak bergantung pada perspektif kepala daerah atau pihak pemerintah lainnya, hingga anggaran dapat dialokasikan secara lebih ke dalam urusan seni budaya,” ujar Peneliti Kebijakan dari Koalisi Seni, Aicha Grade Rebecca.

Dari pengamatan di lapangan, Koalisi Seni menilai ada tiga masalah dalam proses penyusunan PPKD. Masalah pertama adalah pemahaman kebudayaan yang belum sejalan dengan perspektif pemajuan kebudayaan.

Menurut UUPK, proses pemajuan kebudayaan perlu berasaskan keberagaman dan kelokalan dalam waktu yang bersamaan. Namun realitanya, representasi budaya dalam tim penyusun luput dipertimbangkan.

Dalam penyusunan PPKD DKI Jakarta, misalnya. Hikmat Darmawan, Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Jakarta yang turut dalam proses itu, mengatakan, dokumen PPKD yang rampung disusun pada 2018 tersirat belum mencakup beragam jenis budaya. Kondisi itu tentunya kontraproduktif dengan upaya PPKD untuk mendorong inklusivitas.

Ke depannya, penyusunan PPKD kita harapkan merangkul perwakilan masyarakat yang lebih beragam, baik dari latar belakang pendidikan, usia, dan gendernya. “Ini penting agar hasil penyusunan PPKD nantinya lebih representatif, serta memperhatikan objek dan kondisi kesenian daerah yang bersangkutan,” Aicha menjelaskan.

Masalah kedua, proses penyusunan PPKD belum sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 46 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Riset Koalisi Seni sebelumnya mencatat, seniman masih kesulitan dalam mengakses rancangan dokumen PPKD dan berkontribusi dalam proses penyusunannya.

Di beberapa daerah pun masih ada PPKD yang terbentuk tanpa melibatkan forum publik. Termasuk PPKD Provinsi Riau, seperti dikatakan Aristofani Fahmi dari Asosiasi Seniman Riau (ASERI). Karena penyusunannya tak memperhatikan perspektif dari para pemangku kepentingan, banyak perbedaan antara yang tertulis dalam PPKD, dengan realita di lapangan. Dalam PPKD Riau, jumlah pelaku seni dan objek budayanya berbeda dengan kenyataan.

Masalah ketiga yang ditemukan dalam proses pembuatan PPKD adalah ketersediaan sumber daya manusia dan anggaran. Masalah ini bisa jadi disebabkan oleh terbaginya urusan kebudayaan dengan urusan lain di dalam satu “atap”, seperti dinas pariwisata dan olahraga. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengundang beberapa masalah baru yang dapat menghambat eksekusi pembentukan PPKD.

Berbagai kendala di atas menunjukkan bahwa perlu dilakukan proses pengawasan dan evaluasi PPKD secara berjenjang, yang diawasi oleh menteri di level provinsi dan gubernur di level kabupaten/kota.

“Proses ini penting untuk memastikan adanya sinkronisasi antara PPKD dengan pelaksanaan program kebudayaan dalam perencanaan daerah, realisasi anggaran, dan realisasi capaian program bidang kebudayaan,” kata Aicha.

Hal ini menjadi tugas bagi Kementerian Pendidikan, Riset, Kebudayaan, Riset & Teknologi khususnya Direktorat Jenderal Kebudayaan, untuk melakukan tiga hal. Pertama, mengawal proses monitoring dan evaluasi (monev) tersebut hingga PPKD di level pemerintahan terkecil yaitu kabupaten/kota.

Kedua, untuk mempertahankan objektivitas dalam proses monev PPKD karena sejauh ini, tata caranya hanya mengikutsertakan pihak pemerintah tanpa perwakilan sipil. Solusi ketiga, adalah untuk terus menggalakkan sosialisasi dan bimbingan teknis (bimtek) terkait penyusunan PPKD bagi pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang belum menyusun PPKD.

*Artikel ini merupakan press release dari Koalisi Seni, lembaga nirlaba yang bekerja membangun ekosistem seni lebih baik di Indonesia. -Sofie