Oleh: Muamar Riza Pahlevi
PEMILIHAN kepala desa serentak gelombang III Tahun 2022 di Kabupaten Brebes, telah dilaksanakan pada 18 Mei lalu. Bahkan kepala desa terpilih sudah dilantik Bupati Brebes, Idza Priyanti, pada 13 dan 14 Juni 2022.
Ada beberapa perbedaan pelaksanaan pemilu dengan pilkades. Pilkades diselenggarakan oleh panitia yang dibentuk BPD secara independen. Sedangkan pemilu diselenggarakan oleh KPU, seperti yang sekarang sedang dalam proses tahapan awal.
Ada beberapa catatan yang menarik untuk dianalisis dari pelaksanaan pilkades itu. Karena memang pilkades selalu menarik untuk dianalisis secara politik, apalagi jika dibandingkan dengan pemilu dan pilkada.
Salah satunya, jika dilihat dari angka partisipasi pemilihnya. Di mana pemilih dalam pilkades hampir selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu.
Salah satu alasan yang paling klasik dari pilkades ini yakni, ikatan emosional yang lebih tinggi antara pemilih dengan calon kepala desa, dibandingkan dengan pemilu maupun pilkades.
Dalam pilkades, pemilih sebagian besar mengenal secara langsung dengan calon kepada desanya, begitu pula sebaliknya. Namun dalam pemilu dan pilkada, ikatan emosionalnya tidak begitu kuat.
Dari pelaksanaan Pilkada Gelombang III di Kabupaten Brebes, ternyata tingkat partisipasinya tidak semuanya naik. Dari 43 desa yang ada, 11 desa di antaranya ternyata partisipasinya lebih rendah dibandingkan dengan pemilu 2019 lalu.
Ada juga yang secara persentase turun, tetapi dari angka kehadiran pemilih mengalami kenaikan sedikit dibandingkan dengan pemilu.
Panitia Pilkades
Hal ini terjadinya adanya perbedaan DPT saat pemilu dan pilkades, ada yang naik, ada pula yang turun. Penyusunan DPT pilkades ini wewenang panitia pilkades.
Sebagian ada yang menyandingkan dengan DPT pemilu terakhir, sebagian ada yang menggunakan data SIAK di masing-masing desa. Tidak ada ketentuan baku untuk penyusunan DPT pilkades dalam peraturan yang ada.
Data yang diperoleh dari pemkab, tingkat partisipasi tertinggi ada di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Banjarharjo sebesar 91 persen dan Desa Kemiriamba, Kecamatan Jatibarang sebesar 91 persen.
Sedangkan tingkat partisipasi terendah ada di Desa Linggapura Kecamatan Tonjong sebesar 54 persen, lebih rendah dibandingkan saat pemilu 2019 sebesar 71 persen.
Berikutnya Desa Bangsri, Kecamatan Bulakamba, yang persentasenya juga lebih rendah dibandingkan saat pemilu. Pada pemilu di Desa Bangsri partisipasi sebesar 65 persen, sedangkan saat pilkades hanya 59 persen.
Di Kecamatan Bumiayu, dari tiga desa yang menggelar pilkades, yakni Desa Adisana, Kaliwadas dan Penggarutan, angka kehadiran dan persentasenya semuanya lebih rendah dibandingkan dengan kehadiran saat pemilu.
Untuk desa-desa dengan partisipasi pilkades yang lebih rendah ini perlu dianalisis lebih lanjut, apa penyebab utamanya. Karena dengan alasan klasik tadi, seharusnya ikatan emosional antara calon kepala desa dengan pemilih, yang merupakan warganya itu lebih kuat.
Apakah ada faktor lain, misalnya calon yang didukung tidak ikut dalam pilkades itu, atau banyak yang merantau tetapi tidak sempat pulang kampung, atau faktor lainnya.
Fenomena Politik
Bisa juga faktor calon kepala desa yang ada, ternyata tidak ada yang disukai sama sekali. Kondisi ini perlu penelitian lebih lanjut.
Di Desa Lembarawa, Kecamatan Brebes, setelah pemilu 2019 menggelar pilkades sebanyak dua kali. Karena kepala desa hasil pilkades pelombang II pada Desember 2019 meninggal dunia. Sehingga pada gelombang III ini digelar pilkades kembali untuk memilih kepala desa definitif.
Di Desa Lembarawa ini, kecenderungan kenaikan dari pilkades sebelumnya. Pada pemilu 2019 lalu, kehadiran pemilih hanya 2.284 atau sekitar 45 persen dari DPT 5.095.
Pada pilkades 2019, jumlah kehadiran mencapai 3.492 pemilih, dan pada pilkades 2022 ini mencapai 3.564 pemilih. Dengan tren kenaikan partisipasi ini, menjadi tantangan penyelenggara pemilu 2024, apakah mampu mempertahankan kenaikan tersebut, atau justru turun seperti pada pemilu 2019 lalu.
Dari dinamika pemilih di masing-masing desa ternyata berbeda-beda. Perlu penelitian lebih detail, terkait dengan perilaku pemilih di desa-desa yang dinamikanya cukup dinamis.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi naik turunnya jumlah pemilih, baik dalam pemilu maupun pilkades, khususnya di desa-desa yang angka partisipasi pilkadesnya lebih rendah dibandingkan pemilu. Yang pasti, politik di desa satu dengan desa lainnya akan berbeda.
KPU sebagai penyelenggara pemilu, khususnya saat pemilu 2024 yang akan datang harus mampu menganalisis fenomena politik di desa-desa tersebut. Khususnya di desa-desa yang rendah partisipasinya saat pilkades, bagaimana meningkatkannya pada pemilu yang akan datang.
Sementara yang partisipasinya tinggi, bagaimana agar tetap dipertahankan pada pemilu berikutnya. Jangan sampai fenomena tersebut lepas dari pengamatan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas dan partisipasi pada pemilu 2024.
— Muamar Riza Pahlevi, Ketua KPU Kabupaten Brebes —