SOLO (SUARABARU.ID)– Di era media sosial seperti saat ini, verifikasi informasi menjadi sangat penting. Sebab, informasi yang menyebar di media sosial tak semuanya benar. Mencari informasi pembanding jadi salah satu cara verifikasi.
Hal itulah yang terungkap dalam film dokumenter bertajuk ‘Seeking The Imam’, karya Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Film itu diputar di hadapan pelajar SMA dari berbagai sekolah di Solo.
Salah satu sekolah yang memutar film dokumenter itu yakni, SMA 1 Batik Solo, Senin (20/6/2022), yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah.
BACA JUGA: Kodim 0735/Surakarta Gelar Sepak Bola Liga Santri Piala KASAD tahun 2022
Kegiatan bertema ‘Ekspresi Kaum Muda: Bangga Nusantara Tolak Radikalisme Terorisme’ itu, juga sengaja digelar dalam rangka Bulan Pancasila.
Karakter utama dalam film itu, Dhania (24) bercerita di hadapan audiens. Dia berbagi pengalamannya saat “terjebak” di media sosial, yang membuatnya sempat tergelincir masuk ke wilayah kelompok ISIS di Suriah, pada 2015 hingga 2017.
Dhania ketika itu baru berusia 16 tahun, masih duduk di kelas 2 SMA di Kepulauan Riau.
BACA JUGA: Bakti Religi Polres Klaten, Bersih-Bersih Tempat Ibadah dan Bagikan Bantuan Sosial
”Saya nggak happy sekolah, apalagi ditambah tugas, kerjaannya gitu-gitu doang, belajar, belajar, belajar. Ayah juga sibuk, iya sih nyari duit buat kita juga, tapi kan harusnya ada waktu juga buat keluarga, buat anak-anak,” kata Dhania.
Itulah salah satu titik awal “kekecewaan” Dhania pada keluarga. Akhirnya, “larilah” dia ke media sosial. Dhania banyak berselancar di Facebook, termasuk mengikuti Tumblr yang isinya catatan harian para muhajirin di Suriah.
Ada beberapa akun yang diikutinya di Tumblr. Di antaranya Diary of Muhajirah dan Al-Muhajirat. Rata-rata isinya tentang cerita kehidupan di wilayah ISIS yang begitu indah dan menyenangkan. Seperti pendidikan gratis, fasilitas kesehatan gratis, kehidupan yang adil.
BACA JUGA: BUMDes Maju Mapan Luncurkan Agrowisata Petik Buah Semangka Madu dan Inul di Desa Bangsri Jepon
”Pokoknya negeri yang diberkahi. Saya ketika itu langsung percaya,” lanjut Dhania.
Akhirnya, bersama keluarganya termasuk beberapa saudara-saudaranya, mereka nekat meninggalkan Indonesia, untuk “hijrah” ke wilayah ISIS di Suriah.
Ternyata sesampainya di sana, yang didapati bertolak belakang dengan apa yang disebutkan di media-media sosial tadi. Bersusah-payah, Dhania dan keluarganya akhirnya bisa kabur dari wilayah ISIS, sebelum kemudian dievakuasi tim dari Indonesia pada Agustus 2017.
BACA JUGA: Menolak Punah! Sejumlah Radio di Jepara Lakukan Terobosan Baru
”Jadi pesannya, ketika menemukan informasi apa pun, selalu teliti kembali dari sumber yang lain, atau orang yang lebih paham,” tukas Dhania, yang didampingi kakaknya, Nailah.
Narasumber lain pada kegiatan itu, Joko Tri Harmanto alias Jack Harun, mantan narapidana terorisme (napiter) menyebut, untuk membendung radikalisme dan terorisme semua komponen harus bergerak bersama-sama. Mulai dari pemerintahan, dunia pendidikan hingga masyarakat.
”Orang-orangnya kalau diciduk atau ditangkap itu mudah. Tetapi membendung pahamnya itu yang sulit. Kalau dikuatkan masyarakatnya, dari RT sampai kelurahan, maka masyarakatnya jadi cerdas. Dengan begitu, paham-paham seperti itu akan tertolak dengan sendirinya,” jelas dia, yang kini menjabat sebagai Ketua Yayasan Gema Salam sekaligus pengusaha Warung Soto Bang Jack ini.
BACA JUGA: Ronggolawe Kalahkan Persik, DH Anggora Menang atas Gelora
Sementara itu, Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jawa Tengah, Haerudin memaparkan, radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki secara cepat adanya perubahan sosial dan politik.
”Sebenarnya bukan untuk agama, tetapi menggunakan siasat agama,” ungkap Haerudin.
Dia mengakui, butuh peran dari instansi terkait, termasuk sekolah-sekolah hingga masyarakat luas, untuk bersama-sama mencari solusi atas persoalan ini.
BACA JUGA: Pandemi Mereda, Warga Sirahan Cluwak Pati Kembali Menggelar Sedekah Bumi
Sedangkan sutradara film dokumenter ini, Rahmat Triguna alias Mamato, menyebutkan, dirinya terketuk membuat film itu, karena terketuk melihat fenomena yang terjadi.
”Selain soal gadget, media sosial dan anak muda, juga refleksi bagi saya sendiri sebagai seorang ayah,” imbuhnya.
Terkait film itu, Mamato menyebut perlu waktu hingga dua tahun untuk menyelesaikan semuanya. ”Dhania kooperatif sekali dengan kami selama proses produksi,” lanjut dia.
Riyan