blank
Timnas Indonesia. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// kita bisa bertriwikrama, seharusnya/ membangun sikap/ yang tak surut melawan/ ngotot dalam kehormatan/ : karena sepak bola itu elan/ pancaran jiwa-jiwa perkasa…//
(Sajak “Jiwa-jiwa Perkasa”, 2022)

SEPERTI itukah “wajah” penampilan tim nasional yang kita impikan?

Menang 2-1 atas Kuwait, kalah 0-1 dari Yordania, dan menggilas Nepal 7-0 dalam Pra-Piala Asia 2023, Fachrudin Wahyudi Ariyanto dkk bermain dengan disiplin konstan sepanjang laga.

Performa itu jelas “sesuatu banget” bagi timnas, yang selama ini lebih sering dikritik lemah dalam soliditas: daya juang, kedisiplinan, dan fokus.

Timnas Indonesia mampu mengatasi cuaca 40 derajat Celsius di Kuwait City. Juga bertarung gigih melawan Kuwait dan Yordania yang berperingkat FIFA lebih tinggi.

Inikah tuah pendekatan komprehensif pelatih Shin Tae-yong? Dalam pembentukan kesiapan fisik, olah kapasitas teknik, dan kecerdikan taktik, STY mendisiplinkan luar-dalam anak asuhnya.

Gambaran daya juang dengan ngotot sepanjang laga diperlihatkan Pratama Alif Arhan dkk. Sebelumnya, tim Merah-Putih menunjukkan tanda-tanda serupa di Piala AFF 2021.

Era Kardono
Dari dulu, daya juang menjadi persoalan serius timnas. Kondisi fisik pemain yang “kurang siap” merupakan PR pertama siapa pun pelatih yang menangani.

Skema pelecutan fisik ini terkait dengan kesiapan bermain spartan, karena berefek pada kesegaran berpikir, daya tahan untuk bertarung, kemampuan mengambil keputusan, dan konsistensi fokus (konsentrasi). Jika kondisi fisik siap, apa pun keadaan yang berkembang dalam pertandingan akan bisa diadaptasi.

Ya, bagaimana mungkin memaksa permain ngotot fight dengan fisik minimalis? Motivasi jelas membutuhkan topangan daya tahan.

Pada 1985, pelatih Sinyo Aliandoe lebih memprioritaskan pemain produk Kompetisi Galatama untuk Pra-Piala Dunia 1986 Subgrup IIIB Asia Timur. Walaupun dikritik habis karena mengabaikan nama-nama besar dari klub Perserikatan, Sinyo bergeming.

Andai waktu itu sudah ada media sosial seperti sekarang, pastilah Sinyo akan menjadi bulan-bulanan bully. Keputusannya mengabaikan kritik dengan tidak memanggil tiga bintang top Perserikatan: Adolof Kabo, Yonas Sawor, dan Adjat Sudrajat, dipandang sebagai kontroversi besar.

Nyatanya, Herry Kiswanto cs juara Subgrup IIIB. Di balik itu, yang sangat populer sebagai fenomena timnas adalah lecutan diksi “ngotot, ngotot, ngotot” ala Ketua Umum PSSI Kardono.

Kardono mendoktrinkan sikap tanding itu kepada para pemain, yang diperkuat gaya “membara” Acub Zaenal, chef de mission yang mendampingi Manajer Tim Benny Mulyono.

Anak-anak Garuda bermain fight secara konstan di semua laga subgrup, termasuk ketika tampil dalam final grup melawan Korea Selatan.

Hanya, melawan Korea yang akhirnya lolos ke Piala Dunia Meksiko, kengototan Marzuki Nyakmad dkk menghadapi realitas kualitas lawan yang seurat lebih baik. Di Seoul, Indonesia kalah 0-2, dan di Jakarta kalah 1-4. Terhadap hasil laga kandang itu, media mengkritik timnas bermain “ngotot yang tanpa arah”.

Daya Juang Era Toplak
Main ngotot itu menjadi titik balik pada 1993. Dalam Pra-Piala Dunia di Doha, Qatar, Indonesia diarsiteki oleh Ivan Toplak, pelatih asal Slovenia yang didampingi asisten Benny Dollo.

Fighting spirit Robby Darwis dkk banyak mendapat kritik. Tanpa gereget, disiplin bermain lemah, jauh dari kengototan tim 1985.

Legenda tim nasional Sutjipto Soentoro, yang mendampingi tim, menyampaikan pesan motivasi bernarasi keheranan, “Ini, Ivan Toplak sampai bertanya kepada saya, bangsa Anda dikenal sebagai bangsa pejuang, mengapa para pemain tidak menunjukkan semangat juangnya?”

Salah seorang pemain, Toyo Haryono sempat berbincang-bincang dengan saya. Kata pemain belakang itu, “Kondisi fisik kita tidak memungkinkan untuk bermain ngotot, seperti yang saya rasakan ketika meraih medali emas SEA Games 1991 di bawah dril fisik Anatoly Polosin. Ini problem dasar kalau kita ingin fight,” tutur Toyo.

Problem Timnas
Problem timnas yang sekarang sering kita simak adalah disiplin, dan konsentrasi transisi dari menyerang ke bertahan atau sebaliknya. Fokus sikap terasa sebagai masalah ketika mengadapi serangan balik dan bola mati.

Ketika soliditas performa itu muncul dalam dua laga melawan Kuwait dan Yordania, apakah berarti coach STY telah mendiagnosis penyakit itu, dan menemukan resepnya?

Di luar problem itu, kita merasakan anak-anak Tim Merah-Putih sebenarnya telah memiliki pilar dalam skema ideal.

Kita punya kiper dengan konfidensi tinggi, Nadeo Argawinata. Di barisan pertahanan ada Asnawi Mangkualam, Pramata Arhan, Elkan Baggot, Fachrudin Ariyanto, dan Rizky Ridho.

Di sektor gelandang, STY tinggal menyesuaikan kebutuhan: Marc Kloc, Rachmat Irianto, Ricky Kambuaya, Alfeandra Dewangga, Marcellino Ferdinand. Sementara di barisan penyerang ada Witan Sulaeman, Irfan Jaya, Egy Maulana Vikri, dan Saddil Ramdani.

Dengan pilar-pilar itu, dari pengalaman melawan Kuwait, Yordania, dan Nepal, suntikan yang akan membuat timnas “bertiwikrama” adalah disiplin dan kengototan.

Ngotot, ngotot, ngotot! “Suwuk” Kardono itu takkan lekang ditiupkan menembus zaman…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah