blank
Ch Kurniawati dan Supari. Foto: riyan

Oleh: Amir Machmud NS

blank
Foto: sb

SEJUMLAH teman bertanya, perasaan apa yang mengemuka ketika puisi-puisi dari dua antologi saya, Percakapan dengan Candi dan Dari Peradaban Gunadarma dibaca oleh para tokoh nasional dan penyair?

Pada malam 12 Juni kemarin, panggung budaya bertajuk “Purnama Puisi di Atas Awan” digelar di lantai 10 Gedung Menara Prof Muladi, kampus Universitas Semarang (USM). Sayang, lantaran hujan deras yang mengguyur Kota Semarang, parade puisi bernuansa bulan purnama itu urung dipanggungkan di amfiteater rooftop Menara USM. Padahal, telah disiapkan panggung megah beraksen stupa-stupa Borobudur, untuk menghadirkan suasana “nyata” percandian.

Tentu perasaan saya tak tergambarkan. Sebagai penulis dua antologi itu, “merinding” rasanya menunggui pembacaan puisi-puisi saya oleh para tokoh dengan tafsir dan gaya masing-masing.

Saya patut memberi respek khusus kepada anggota Pembina YAU Ir Soeharsojo IPU dan Rektor Dr Supari Priambodo yang mengawal terselenggaranya panggung budaya ini.

Riset dan Ziarah

blank
Budi Maryono dan Sinoeng N Rachmadi. Foto: sb

Pada 2021, dua puisi dari Percakapan dengan Candi sempat saya “perkenalkan” dalam momen Hari Puisi Sedunia di Taman Budaya Raden Saleh yang diadakan oleh Dewan Kesenian Semarang. Selebihnya, puisi-puisi candi itu tersaji di kanal sastra sejumlah media kolega saya.

Maka, “Purnama Puisi” di USM itu terasa istimewa, karena sejumlah tokoh — kecuali Ketua Pembina Yayasan Alumni Undip Prof Sudharto PH yang membacakan karyanya sendiri –, dan beberapa penyair malam itu membacanya.

Antologi pertama — terbit 2021 — saya kerjakan cukup lama, dengan riset kecil-kecilan dan ketekunan menziarahi candi-candi. Ketika menyiapkan buku itu, saya banyak berdiskusi dengan sastrawan Semarang Handry TM dan penyair Kepulauan Riau, Ramon Damora. Kedua sahabat itu memberi prolog dan endorsement untuk antologi Percakapan dengan Candi.

Handry juga memberi sentuhan untuk antologi Dari Peradaban Gunadarma dengan endorsement-nya, bersama catatan kecil Gubernur Ganjar Pranowo yang dikenal gigih dalam pengembangan pariwisata di semesta Borobudur.

blank
Dini Inayati dan Honi Havana. Foto: sb

Pandangan yang berkualitas “prolog” dan “epilog” secara tidak langsung juga saya dapatkan dari sahabat saya, budayawan Sragen, Sri Busono; dan secara tak terduga — dalam acara di USM kemarin — dari Komandan Kodim Semarang Honi Havana.

Mas Busono menuangkan kesan dalam unggahan WA-nya selepas acara, “Ketika mas Amir membaca, seolah-olah saya melihat sedang menulis kata demi kata. Itu yang saya nikmati, karena pilihan kosa kata yang sering saya anggap ‘dancuk’, kok bisa-bisanya ketemu ‘ukara’(kata) itu. Lebih-lebih ketika saya belajar menulis sendiri, rasanya saya tahu betapa melimpahnya sumber kata-kata mas Amir…”

Honi Havana lain lagi. “Mas Tentara” yang saya kenal sejak Perayaan Hari Pers Nasional 9 Februari 2022 itu “bertaut rasa” dalam pandangan soal kebhinekaan. Dia dikenal aktif mengampanyekan esensi keberagaman ke berbagai ruang publik.

Dia merasakan puisi-puisi candi saya menyuarakan hakikat sikap keberagaman. Betapa peradaban masa silam yang gemilang di Medang Mataram telah mengenal pentingnya makna toleransi, dari contoh relasi antara wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra dalam wujud hubungan antara Rakai Pikatan dan Pramodyawardhani.

“Itu kesan yang saya tangkap dari puisi-puisi candi di antara pesan lain tentang kebijaksanaan, dan pentingnya memahami sejarah,” kata Honi.

Pesan Eksotika

blank
Widiyartono R dan Amir Machmud NS. Foto: sb

Dalam 53 puisi dan 57 puisi dua antologi itu, saya menitipkan pesan eksotika keberagaman lewat bait-bait yang lahir dari ziarah mahakarya leluhur itu dengan penghayatan mata batin dan mata hati. Juga bagaimana menyelaraskan pesan-pesan peradaban dari bebatu dan relief yang tertatah dalam guratan estetikanya.

Saya tak akan berhenti. Sebagai ungkapan cinta yang mengalir dari mahakarya peradaban itu, sedang saya siapkan antologi berikutnya: Candi, Kopi, dan Pagi.

Malam itu, ketika membaca puisi “Cahaya Gunadarma” sebagai karya terbaru, saya meletakkan kekaguman dan penghormatan kepada arsitek Candi Borobudur itu dalam realitas sejarah yang dia “tatah” sebagai karya agung untuk Nusantara, hingga hari ini dan ke depan. Bahkan menaklukkan dunia…

Simaklah ini, //dia tak sedang menyulam bangunan/ dia menatah sejarah/ mengusung swarga indah/ dengan mata batin merangkai marwah/ tak sekadar pertaruhan wangsa-wangsa

// dengan cara apa Gunadarma menguasai cahaya/ yang dia pancarkan dari jiwa jinalaya/ matanya waskita menembus masa/ melewati lorong-lorong peristiwa/ dia temukan titik sejarah/ yang kelak menaklukkan dunia…//

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru, penyair yang menulis puisi-puisi candi, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah