PAWANG hujan mendadak viral dalam gelaran MotoGP di Mandalika, Lombok beberapa hari lalu. Seorang perempuan berjalan di jalur lintasan balap sambil membawa mangkuk dan dupa di tengah hujan deras. Dia adalah Rara Istiati Wulandari, seorang pawang hujan yang disiapkan untuk gelaran balap ini.
Kali ini, materi di kanal ini memang bertopik pawang hujan. Sempat terlintas dalam pikiran, ilmu pawang hujan itu hanya populer di kalangan mistik tradisional. Anggapan saya itu ternyata meleset. Saat saya mengunjungi ahli hikmah di Kediri.
Saat saya tanya soal ilmu pawang hujan, dijawab, ”Saya tidak pernah menolak hujan, saya hanya berdoa semoga di saat hari saat dia (yang minta bantuan) itu punya kerja, Allah tidak menurunkan hujan.”
Sesepuh ini mengamalkan ilmu “Petak Sayyidina Ali.” Selain untuk menyingkirkan mendung, juga bisa untuk silat (gerak reflek) walau tidak pernah belajar silat. Ilmu ini jika dimanfaatkan memawangi hujan, dibaca minimal tiga kali didepan rumah yang ingin lokasinya tidak turun hujan.
Fungsi utamanya menyingkirkan mendung dan bukan menolak hujan sebagaimana dipahami orang awam. Karena hujan itu karena ada mendung, jika mendungnya sudah pergi, insya Allah daerah di bawahnya tidak hujan.
Aslinya doa itu dibaca untuk menyingkirkan mendung dibaca sambil berteriak. Namun dalam prakteknya cukup dibaca pelan sambil menengadah ke langit (atas). Insya Allah, mendung yang semula pekat itu perlahan pindah sementara mendung yang diluar lokasi tidak masuk.
Untuk tirakat atau riyadhah ilmu petak Sayyidina Ali, puasa tiga hari dan hanya buka sahur makanan yang tidak mengandung nyawa. Sedangkan garam diperkenankan.
Membaca amalan (wirid) minimal tiga hingga tujuh kali setiap selesai salat fardhu. Dan tiap tengah malam (saat tirakat) membaca wirid 100 kali ulangan. Sebelumnya membaca Surat Alfatihah dan Al-Ikhlas dan muawwidztain. Setelah semua rangkaian ritual itu selesai, amalan diwirid minimal sekali dalam satu hari. Maksimalnya, terserah!
Bismillahir rahmanir rahim.
Allahumma syattit syammil a’da-ana, wa farriq jam’ahum, wa qollib tadbirahum, wa baddil ahwalahum, wa naqqish a’malahum, wa qarrib bunyaa nahum, wa qarrib aajalahum, wa sahhilhum biabdaanihim, wa sahhiihum wahdzarhum hadzaral ‘azizi birahmatika ya arhamar rohimiin.