blank
Ilustrasi
blank
Amir Machmud NS

Oleh: Amir Machmud NS

FUNGSI pers yang terumuskan komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, dapat dimaknai sebagai “gabungan kebajikan” dari berbagai sistem pers di dunia. Fungsi normatif dan praktis itu adalah memberi informasi, memberi pendidikan, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial.

“Gabungan kebajikan” itu menunjukkan wartawan dan media tidak hanya melayani kepentingan pihak-pihak tertentu, melainkan untuk siapa pun tanpa kecuali, apabila pelayanan itu bertujuan menuju sebesar-besarnya kemaslahatan bersama.

Maka apabila kita menyimak Kode Etik Jurnalistik sebagai “jalan” berjurnalistik dan bermedia atas nama etika substantif, etika operasional dan konsep terkini etika kewartawanan, kebajikan-kebajikan itu akan terpancar dari konsistensi disiplin pelaksanaan pasal-pasalnya.

Pelayanan informasi tentang kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan untuk kesejahteraan itu merupakan perwujudan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik misalnya tentang akurasi, faktual, berimbang, non-partisan, imparsial, menjauhi pemberitaan bertendensi Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), memproteksi anak-anak, perempuan, difabel, serta melindungi masyarakat melalui hak-hak mengontrol profesionalitas media.

Dinamika Kontestasi

Dinamika menjelang setiap kontestasi politik kekuasaan yang mewarnai hari-hari warga masyarakat pada level kabupaten/ kota, provinsi, dan bangsa, tak terhindarkan pula selalu melibatkan keberadaan atau positioning media dengan aneka model dan pola penyajiannya.

Penilaian terhadap media yang menarasikan objektivitas, netralitas, independensi, afiliasi, keberpihakan, bahkan yang secara langsung maupun tidak langsung memilih menjadi bagian dari “official campaign”, menyertai proses-proses perhelatan itu sebagai dinamika-dinamika tersendiri.

Bukankah kita punya cukup pengalaman komplikatif dari Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, Pilpres 2019, juga Pilgub dan Pilbup/Pilwakot di banyak daerah?

Dalam peristiwa-peristiwa itu, keistikamahan kemerdekaan pers betul-betul dipertaruhkan. Berlangsung pemaknaan-pemaknaan sesuai dengan konteks kepentingan. Pada masa-masa seperti itu orang-orang media bahkan seolah-olah tidak lagi “sempat” memikirkan hakikat posisi pers. Masing-masing seperti bergegas dengan pilihan dan pertimbangannya.

Termasuk dalam dinamika itu adalah momen-momen yang muncul, berkembang atau dikembangkan, lalu dijadikan bagian dari manuver politik kontestasi yang bisa dieksplorasi untuk kepentingan citra orang-orang tertentu, juga dieksploitasi untuk mendegradasi kualitas personal maupun profesional orang-orang tertentu pula.