Mulai Terasa

Suasana menuju kontestasi besar 2024 juga sudah kita rasakan hari-hari ini. Pergerakan lembaga survei, momentum penyampaian hasil survei, pengembangan analisis pengamat, kajian akademisi, pernyataan-pernyataan para tokoh partai politik, dan aksi para relawan mewarnai sejumlah media.

Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk merebut dan mendominasi ruang opini publik?

“Rezim citra” — istilah yang dipakai oleh rohaniwan Romo Benny Susetyo — menjadi atmosfer yang tak terhindarkan bagi para politisi untuk menyusun agenda-agenda di ruang publik. Nilai plus dari hasil survei tentu membutuhkan publikasi media untuk memperkuat “faktor pembeda” seseorang, yang kemudian dielaborasi sebagai modal performa.

Dalam membentuk realitas, media akan memilih langkah dengan pertimbangan kepentingan internalnya, yang tentu juga terefleksi oleh faktor-faktor eksternal. Sikap yang diambil ditentukan oleh “pertemuan” pilihan pemilik modal, pengambil kebijakan di newsroom, juga wartawan yang menjadi ujung tombak “pelaksanaan sikap”.

Maka pastilah, dalam perkembangan menuju 2024 nanti, akan segera terasa “selera-selera keberpihakan” media yang membedakan orientasi satu media dengan media yang lain. Dan, pilihan itu akan terlihat pada breakdown aspek-aspek teknis mulai dari judul berita, lead, substansi pesan, dan kegencaran menyajikan varian back link-nya.

Tujuan setiap pemberitaan tentu bagaimana menciptakan efek keterbentukan opini di tingkat publik. Kondisi ini bisa mulai kita amati dalam pergerakan proses menuju kontestasi politik besar ini. Dalam dinamikanya, kekukuhan pilihan “sikap politik media” acapkali menimbulkan kemembabibutaan model-moel penyajian.

Rentetan sikap berjurnalistik dan bermedia yang sedikitnya tercermin dari kontestasi 2014, 2017, 2019 menunjukkan kecenderungan kalangan media yang justru seolah-olah “abai terhadap hakikat kebebasan pers”.

Maka mari mencoba berintrospeksi terhadap perilaku berjurnalistik dan bermedia kita di tengah kondisi demikian.

Problem mendasar yang mudah terbaca, misalnya, “Apakah media-media siap bersikap objektif terhadap kekurangan-kekurangan calon yang didukung?” atau, “Apakah media mau mengakui kelebihan-kelebihan calon yang menjadi rival jago kita?” “Apakah media masih (sempat) berpikir konsisten tentang pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik terkait penyajian informasi di seputar dinamika kontestasi?”

Tiga hal itu saja sebenarnya bakal menjawab tentang sikap dasar kode etik, berupa “warning” agar wartawan dan medianya “tidak beriktikad buruk”.

Saya menggarisbawahi narasi yang disampaikan oleh Ganjar Pranowo dalam Orasi Jurnalistik Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 Tingkat Jawa Tengah, 19 Februari lalu di Kendal.

Kata Gubernur Jawa Tengah itu, tugas wartawan memang berat. Sebagai sumber informasi, dituntut mengetahui segala sesuatu lebih mendalam dan menyampaikannya dengan benar. Karena, sekali ada mis (kekeliruan, pen), sekalinya menyampaikan informasi dengan tidak benar, efeknya sangat besar.