blank
Ilustrasi/duniasantri.co

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Nimbrung pembicaraan memang bisa asyik apalagi memang sedang “dalam gelombang yang sama,” namun bisa apes diusir keluar dari persidangan seperti dialami oleh seseorang dalam dengar pendapat di Komisi DPR beberapa waktu lalu. Padahal dia tidak nimbrung dalam arti sebenarnya, karena hanya sekedar menyela saja,  eh… dasar sial.

Sekang ini saya sedang nimbrung pembicaraan terkait wayang, mumpung lagi ramai dibahas, dan mumpung belum dilarang. (Eh… kalau sedang apes, siapa tahu nanti membicarakan wayang saja diharamkan). Dan timbrungan saya ini terkait juga dengan topik yang  rasanya masih hangat seraya melukiskan tokoh figuran dalam pewayangan, yakni Wadhas Gempal (WG) dan Jurang Grawah (JG).

Sekali lagi, WG dan JG ini aktor figuran, sangat bergantung siapa dhalangnya. Bagi dhalang tertentu, -dan ini pengalaman masa kecil saya yang sangat menarik- , WG dan JG diperankan dengan sangat lincah dalam berperang karena memang mereka itu hanya tampil manakala ada perang.

Keduanya bermuka ora karuan (gak menarik sama sekali), persis seperti wajah wadhas (padhas) yang gempal, yakni pecah sebagian besarnya dan terpisah; atau seperti jurang yang sebagiannya growah (grawah) yaitu runtuh. Lewat perwajahan yang seperti itu, biasanya ki dhalang semakin menyangatkan betapa menakutkannya wajah WG dan JG ini.

Kalau wajahnya saja menakutkan, siapa akan berani berperang melawan mereka. Namun, harus diingat, WG dan JG adalah prajurit perang dari “Kurawa” yang dalam pakem pewayangan, meski mereka itu menakutkan apalagi sakti mandraguna; pasti akhirnya akan kalah melawan “Pandawa.”

Kurawa senantiasa dikaitkan dengan angkara murka dan pihak jahat, yang pasti akan dapat dikalahkan oleh Pandawa karena selalu (tidak apes) sebagai representasi pihak yang baik/benar.

Jurang Grawah Ora Mili

Wadhas, -dalam Bausastra Jawi harus Anda cari di padhas-, adalah lemah kang atose saemper watu, tanah yang amat keras setara batu (kekerasannya), maka bayangkanlah tanah sekeras itu bisa gempal, yaitu retak dan terlepas atau jatuh. Ada apa terjadi wadhas gempal? Ahli geologi mungkin punya jawaban ilmiahnya; sebab kalau bukan ahlinya, bisa-bisa jawabnya “ya pancen digawe gempal, memang disengaja dibuat retak dan ambyar.”

Baca Juga:Nganggo Rasa-Pangrasa

Lain padhas gempal, lain pula jurang grawah. Disebut jurang  grawah (beberapa tempat menyebutnya growah) untuk melukiskan sebuah jurang yang ada aliran airnya  berupa sebuah selokan atau bahkan sungai kecil. Di tubir jurang yang teraliri air semacam itu, pasti wajahnya tidak menarik namun pasti kuat karena terus-menerus terkikis oleh aliran air sekecil/sebanyak apa pun.

Kondisi alamiah jurang grawah semacam itu, justru dipakai sebagai paribasan, berbunyi jurang grawah ora mili  untuk melukiskan bahkan menyindir betapa banyaknya orang yang katone loma, nanging sejatine cethil; tampaknya (dari omongan misalnya) seseorang murah hati, pemurah, suka bagi-bagi rejeki; eh… ternyata justru ia sangat cethil banget.

Pernah menemui orang-orang semacam itu? Oh…. saabreg banyaknya, dan ada di mana-mana. Omongannya sih empuk, gurih, mak nyus, tetapi ternyata hanya sampai pada taraf omongannya, sebab dalam realitanya, orang itu juga tampil sangat sangar penuh perhitungan dan sangat pelit. Itulah jurang grawah ora mili, sosok yang mungkin (pasti??) ada di sekitarku/mu.

(JC Tukiman Tarunasayoga Pengajar Community Development Planning)