blank
The Red Devils/ Foto: dok/pint

Oleh: Amir Machmud NS

// aura apakah yang kau butuhkan/ untuk mengembalikan kekuatan/ Setan Merah di Teater Impian?/ dengan mantera apakah?/ dengan langkah yang seampuh apa…//
(Sajak “Teater Impian”, 2022)

“MANTERA” seampuh apakah yang dibutuhkan para pemuja Manchester United dalam ritual panjang “mengembalikan setan” ke Teater Impian?

MU tak hanya kehilangan identitas permainan. Menguap pula elemen-elemen “kesangaran” sebagai salah satu kekuatan tradisi Liga Primer.

Keangkeran Stadion Old Trafford pun ikut terluruhkan. Bahkan Wolverhampton Wanderers yang notabene bukan tim papan atas klasemen pun mampu menghumbalangkan sang penghuni.

Sejak Alex Ferguson pensiun pada 2013, “roh” Setan Merah seperti mengikuti. Hanya trofi Liga Europa dan Piala Liga yang didapat lewat kepemimpinan Jose Mourinho dan Louis van Gaal.

Suksesi kepelatihan mengetengahkan nada-nada “panik”. Dari David Moyes, Mourinho, Van Gaal, Ole Gunnar Solskjaer, dan kini Ralf Rangnick.

Selain Moyes, empat pelatih lainnya selalu mengawali kiprah dengan langkah menjanjikan, tetapi kemudian bergerak ke stagnasi, inkonsistensi, lalu chaos.

Problemnya pun sama: Pasukan Old Trafford kehilangan identitas permainan, yang pada masa-masa panjang kepemimpinan Sir Alex menjadi “brand MU”.

Kritik yang belum lama ini disampaikan legendanya, Rio Ferdinand menguatkan betapa analisis “identitas” ini menjadi persoalan yang belum terpecahkan, termasuk oleh Rangnick yang punya reputasi sebagai “profesor gegenpressing”.

Apa yang Berubah?
Dalam analisis mikro, Ferdinand melihat MU kehilangan permainan yang beraksen pemanfaatan lebar lapangan.

Rangnick punya basis formasi dua striker. Dengan instruksi menekan ala gegenpressing, apabila dua penyerang tidak mendapat pasokan umpan produktif dari sayap, pemain sekelas Cristiano Ronaldo dan Edinson Cavani pun bisa kehilangan efektivitasnya.

MU pernah sangat lekat dengan identitas tim yang agresif menyusun serangan lewat sayap. Dalam perjalanan sejarah sejak Alex Ferguson membangun tim dari 1986, Setan Merah memiliki bek kanan-kiri yang hiperaktif.

Nama-nama Paul Parker, Denis Irwin, Gary Neville, Phillip Neville, Quinton Fortune, Patrice Evra, Rafael Da Silva, Fabio Da Silva, Luke Shaw, dan Aaron Wan Bissaka, menggambarkan sejarah kehebatan bek sayap MU.

Gary yang berposisi sebagai bek kanan, dan Phillip di bek kiri, melengkapi kisah dua bersaudara yang bermain di satu tim. Keduanya termasuk produk Class of 1992 yang menjadi cikal bakal kejayaan panjang MU.

Sedangkan Rafael dan Fabio, yang ditemukan oleh pemandu bakat MU Lee Kirshaw pada 2005 dan mulai merumput di Theater of Dream pada 2008, mendapat julukan sebagai “Two Little Whippes”. The Times menyebut bek sayap kembar itu sebagai “Neville bersaudaranya Brazil”.

Kekuatan overlap akseleratif dari kedua sayap, yang menjadi kekuatan tim Fergie, sekarang tidak tampak dalam pola serangan MU. Apalagi tidak ada gelandang sayap sekelas Ryan Giggs, Andrei Kanchelskis, David Beckham, Jesper Blomqvist, atau Lee Sharpe.

Dahulu, para penyerang seperti Brian McClair, Mark Hughes, Dwight Yorke, Andy Cole, Teddy Sheringham, Ole Gunnar Solskjaer, Louis Saha, Ruud van Nistelrooy, Robin van Persie, dan Wayne Rooney sangat terlayani oleh umpan-umpan dari sayap.

Filosofi dan Skema
Setiap pelatih memiliki filosofi yang diimplementasikan dalam keyakinan skematika permainan.

Sir Alex konsisten dengan ide dua bek yang rajin menyisir sayap. Parker dan Irwin menjadi senjata pamungkas pada saat-saat krusial. Begitu pula Phillip dan Gary Neville. Kemampuan berakselerasi dan melepas passing ber-chemistry dengan siapa pun duet striker atau gelandang dari second line yang merangsek.

Itulah “brand” permainan MU yang sangat mematikan pada masa kejayaannya.

Ralf Rangnick tentu punya agenda sendiri. Transisi filosofi dan taktik pastilah menciptakan turbulensi, karena para pemain harus menempuh adaptasi-adaptasi.

Kondisi ruang ganti yang disebut-sebut memanas lantaran sejumlah pemain yang menyatakan tidak lagi “kerasan” adalah bagian dari konsekuensi itu.

Pada bagian lain, kemampuan Rangnick untuk mengendalikan ruang ganti menjadi kunci untuk bergerak ke stabilisasi. Bagaimana meyakinkan para pilar untuk “merasuk” ke dalam taktiknya, juga mengembalikan performa sejumlah pemain yang cenderung anjlok seperti Hary Maguire, Bruno Fernandes, Edinson Cavani, Marcus Rashford, dan Jadon Sancho.

Dalam tim sekarang, sebenarnya Jadon Sancho adalah spesialis sayap bertalenta, namun sejak direkrut MU sejauh ini belum menunjukkan kelas seperti ketika memperkuat Borussia Dortmund.

Sang “profesor” punya waktu sebagai pelatih interim hingga akhir musim. Manajemen MU sudah memproyeksikan nama Mauricio Pochettino dari Paris St Germain. Dengan gambaran Rangnick akan meneruskan tugas sebagai Direktur Teknik, maka siapa pun suksesornya, gaya dasar pressing tergambarkan tak akan berubah.

Namun, kondisi MU tidak akan bergerak jika pelatih baru nanti tidak mampu membangun chemistry dalam transformasi filosofi, identitas, dan menciptakan kepercayaan para pilarnya.

Mengembalikan aura “setan”, itulah kunci dan pekerjaan utama taktikus The Red Devils saat ini…

— Amir Machmud NS, wartawan dan kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —