blank
Foto: dok/ist/pixb

Oleh: Achmad Sulchan, Ida Musofiana, A Althof Rusydi

PENCUCIAN uang (money laundering) adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan jejak, sehingga memungkinkan pelaku menikmati keuntungan-keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan.

Penjualan senjata secara ilegal, penyelundupan, dan kegiatan kejahatan terorganisasi, contohnya: perdagangan obat dan prosistusi, dapat menghasilkan jumlah uang yang banyak.

Penggelapan, perdagangan orang dalam (insider trading), penyuapan, dan bentuk penyalahgunaan komputer dapat juga menghasilkan keuntungan yang besar dan menimbulkan dorongan untuk menghalakan (legitimize) hasil yang diperoleh melalui money laundering.

Bambang Setijoprodjo (Hukum Bisnis Vol. 3, 1998:5) mengutip pendapat dari Prof Dr M Giovanoli dan Mr J Koers, masing-masing menulis seperti berikut:
1. Money laundering merupakan suatu proses dan dengan cara seperti itu, maka aset yang diperoleh dari tindak pidana (kejahatan) dimanipulasikan sedemikian rupa. Sehingga aset tersebut seolah berasal dari sumber yang sah (legal).
2. Money laundering merupakan suatu cara untuk mengedarkan hasil kejahatan ke dalam suatu peredaran uang yang sah dan menutupi asal-usul uang tersebut.

Selanjutanya, Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 122) dikemukakan: Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

Pengertian tersebut, lingkupnya dibatasi pada apa yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010.

Ada pun dalam Pasal 641 Rencangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1999-2000 dinyatakan: “Setiap orang yang menyimpan uang di bank atau di tempat lain, mentransfer, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar dengan uang atau kertas bernilai uang, yang diketahui atau patut diduga diperoleh dari tindak pidana narkotika atau psikotropika, tindak pidana ekonomi atau finansial, atau tindak pidana korupsi,…”

Dalam penjelasannya pada intinya dinyatakan bahwa, ketentuan pasal 641 tersebut lazim dikenal dengan istilah pencucian uang hasil kejahatan (Money Laundering).

Namun, ketentuan tersebut dalam RUU tentang KUHP Tahun 2008 telah dikembangkan lagi, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 734 sampai dengan Pasal 737. Demikian juga dalam RUU tentang KUHP tahun 2019 juga diatur dalam bagian keempat, mengenai tindak pidana pencucian uang, mulai Pasal 607 sampai dengan Pasal 609.

Berdasarkan statistik IMF, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank diperkirakan hampir mencapai nilai sebesar US$ 1.500 miliar per tahun.

Sementara itu, menurut Associated press, kegiatan pencucian yang merupakan hasil perdagangan obat bius, prositusi, korupsi, dan kejahatan lainnya, sebagian besar di proses melalui perbankan, untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal. Dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600 miliar per tahun.

Ini berarti sama dengan 5% GDP seluruh dunia. Namun menurut Micheal Camdessus (Managing Director IMF), memperkirakan volume dari cross border money laundering adalah antara 2% sampai dengan 5% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia.

Bahkan, batas terbawah dari kisaran tersebut yaitu, jumlah yang dihasilkan dari kegiatan Narcotics trafficking, arm traffickingm bank fraud, securities fraud, counterfeting, dan kejahatan yang sejenis dengan kejahatan tersebut, dicuci di seluruh dunia setiap tahun mencapai jumlah hampir 600$ miliar, US Goverment (Secreatory of Treasury and Attorney General, The National Money Laundering Strategy, 2000:6-7).

Dari sisi pencegahan, pemberantasan pencucian uang tidak hanya sekadar memperberat pemidanaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi (TPK), yang memanfaatkan hasilnya untuk kegiatan lain, yaitu selain dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juga Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga dimaksudkan untuk memutus mata rantai kejahatan.

Pemutusan mata rantai kejahatan tidak hanya dilakukan dengan mengungkap kejahatan itu sendiri, tetapi bisa ditempuh dengan cara memutus pendanaan dari kejahatan itu sendiri.

Itulah sebabnya perlu ada kriminalisasi atau upaya untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana. Dalam hal ini melakukan kriminalisasi terhadap pemanfaatan, penggunaan, dan pendanaan kegiatan dan lain-lain, atas harta kekayaan atau aset yang terkait atau berasal dari tindak pidana atau diperoleh secara tidak sah, yang kemudian dikenal sebagai tindak pidana pencucian uang, (Yudi Kristiana, Thafa Media, 2015: 7-8).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat penulis kemukakan permasalahan yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

Penerapan prinsip mengenali pengguna jasa ada dalam pasal 18 sampai dengan 22 bagian kedua. Ini merupakan salah satu dari dasar hukum dari penerapan prinsip mengenali pengguna jasa, dalam hal pencegahan tindak pidana pencucian uang. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa:
1) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenai Pengguna Jasa.

2) Pihak pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang dietapkan oleh setiap lembaga pengawasan dan pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Kewajiban menerapkan prinsip menganalisa Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan pada saat:
a. Melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;
b. Terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp 100.000.000.,00 (seratus juta rupiah);
c. Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa.

4) Lembaga pengawasan dan Pengaturan Wajib melaksanakan pengawasan atau kepatuhan pihak pelapor, dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.

5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
a. Identifikasi Pengguna Jasa;
b. Verifikasi Pengguna Jasa; dan
c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.

6) Dalam hal belum terdapat lembaga pengawas dan pengatur, ketentuan mengenali prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan peraturan Kepala PPATK.

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa:
1) Setiap Orang yang melakukan Transaski dengan Pihak Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang benar, yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh pihak pelapor dan melampirkan Dokumen Pendukungnya.
2) Dalam hal Transaksi dilakuan untuk kepentingan pihak lain. Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan informasi mengenai identitas, diri, sumber dana, dan tujuan transaksi pihak lain tersebut.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa:
1) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak untuk diri sendiri, atau untuk dan atas nama orang lain.
2) Dalam hal transaksi dengan Pihak Pelapor, dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain. Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.
3) Dalam hal identitas dan/atau dokumen pendukung yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak transaksi dengan orang tersebut.

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa:
1) Identitas dan dokumen pendukung yang diminta oleh Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan pengatur.
2) Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan Dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5 (lima) tahun, sejak berakhirnya hubungan usaha dengan Pengguna Jasa tersebut.
3) Pihak Pelapor yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa:
1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf a wajib memutuskan hubungan usaha dengan pengguna jasa jika:
a. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa; atau
b. Penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh pengguna jasa.

2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkannya kepada PPATK, mengenai tindakan pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.

Dari beberapa pasal itu ada beberapa hal yang bisa ditafsirkan yaitu, Pasal 20 ayat (1) dan (2) tertulis bahwa, pengguna jasa bisa saja yang didatangi oleh pihak pelapor itu bukan oleh seseorang yang menguasai seluruh atau sebagian dari uang yang akan di transaksikan oleh pengguna jasa tersebut, sesuai dengan yang tertulis “bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain”.

Disini berarti ada potensi untuk pengguna jasa mengatasnamakan dengan nama orang lain, supaya si pengguna jasa yang menguasai uang transaksi tersebut bisa saja memalsukan identitas diri, supaya apabila transaksi itu dicurigai oleh pihak pelapor, si pengguna jasa bisa menghindar dari tindakan pencucian uangnya. Ada juga potensi untuk pemalsuan identitas pengguna jasa.

Pasal 21 ayat (3) ini ada untuk mengantisipasi supaya pihak pelapor itu sendiri tidak melakukan pencucian uang, atau secara sengaja membiarkan pencucian uang terjadi. Dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menetapkan profesi advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan sebagai pihak pelapor.

Urgensi profesi ditetapkan menjadi pihak pelapor, antara lain:
a. Berdasarkan tipologi dan modus pencucian uang diketahui bahwa profesi rentan untuk dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang, dalam menyembunyikan data untuk menyamarkan asal-usul atau sumber dana dari harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

b. Memperkuat rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia seperti halnya Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan Penyedia Barang dan/atau Jasa lain (PBJ), melalui peranan sebagai garda depan dalam mengidentifikasi dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK; dan

c. Memperlengkapi profesi dengan penerapan program anti pencucian uang dan pendanaan terorisme yang menjadi standar internasional, sesuai rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan, Pihak Pelapor wajib menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) yang ditetapkan oleh setiap lembaga pengawasan dan pengatur.

PMPJ sebagaimana dimaksud, ditetapkan oleh Lembaga Pengawas dan pengatur sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penjelasan Lembaga Pengawas dan Pengatur pada setiap Profesi adalah sebagai berikut:
a) Advokat, yaitu PPATK;
b) Notaris, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
c) Penjabat Pembuat Akta tanah, yaitu PPATK;
d) Akuntan dan Akuntan Publik, yaitu Kementerian Keuangan, dan
e) Perencana keuangan, yaitu PPATK.

Kewajiban profesi diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu sebagai berikut, Pasal 8:
1) Pihak pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyampaikan laporan Transaski Keuangan Mencurigakan kepada PPATK, untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, mengenai:
a. Pembelian dan penjualan properti;
b. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya;
c. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek;
d. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/atau
e. Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan bagi advokat yang bertindak untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dalam rangka;
a. Memastikan posisi hukum pengguna jasa, dan
b. Penanganan suatu perkara, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa.

Dari Pasal 8 ayat (1) dan (2) maka menyatakan bahwa, pihak pelapor wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada PPATK.

Manfaat penerapan kewajiban bagi profesi sebagaimana tersebut diatas, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dan pendanaan terorisme, profesi, bersama-sama dengan pihak pelapor lainnya, dalam rangka menjadi penjaga (goal keeper), rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di indonesia, yang akan mempertajam proses identifikasi dan pelaporan atas pelaku tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia.

— Tim Penulis Fakultas Hukum Unissula, Achmad Sulchan, Ida Musofiana, A Althof Rusydi —