blank
Foto: dok/tangkapan layar

Oleh: Amir Machmud NS

// hanya lantaran takdirkah kau memasrah?/ karena takdirkah kau menerima?/ kepada takdirkah semua dikembalikan?/ bukan, bukan itu/ ada ikhtiar yang menuntun/ ada perjuangan yang memanggul/ ada doa yang menguatkan…//
(Sajak “Takdir Sepak Bola”, 2021)

SIMAKLAH sejumlah meme yang bisa kita maknai sebagai ekspresi untuk mereduksi kekecewaan, setelah tim nasional Indonesia kalah 0-4 dari Thailand di leg pertama final Piala AFF 2021, 29 Desember lalu.

Di antara kreasi meme itu, menurut saya inilah yang paling “nendang”, “Sisok meneh nek ono AFF, Thailand raksah dijak…” (Besok lagi kalau ada turnamen Piala AFF, Thailand tidak usah diikutkan).

Atau ada pula yang berisi pesan satiris, betapa kita adalah tim yang santun karena tidak mau sekalipun membalas empat gol Thailand.

Bukankah ekspresi meme itu adalah logika pengakuan tentang “maqam” (tempat, posisi) Tim Gajah Perang di panggung Asia Tenggara? Level mereka sudah lebih baik. Terbukti, dalam lima kesempatan melaju ke final Piala AFF, yang tiga di antaranya bertemu Thailand, Indonesia tak pernah menjadi peraih trofi.

Logika Etos Kerja
Percayalah seyakin-yakinnya, ungkapan “berdoa dan berusaha” adalah logika etos kerja yang pas. Kombinasi antara keyakinan spiritual manusia sebagai mahkluk beriman, dengan ikhtiar yang dalam Kitab Suci dianjurkan sebagai “laku”, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak berusaha memperbaiki kondisinya.

Hasil-hasil pertandingan olahraga, seperti sepak bola, tentu bisa diparalelkan dengan sikap spiritual itu. Berlatih sungguh-sungguh, tekun belajar, tak henti berkreasi, dan tangguh berjuang untuk meraih sebaik mungkin hasil.

Seperti perjalanan tim nasional Indonesia sejak 1996, enam kali masuk final Piala AFF dan belum sekalipun meraih juara, paralelkah makna pencapaian itu dengan realitas takdir?

Atau kita lebih memaknainya sebagai jalan nasib? Mungkin pula mereduksi kekecewaan dengan menyebut Dewi Fortuna belum berpihak? Atau malah menghibur diri dengan memberi predikat mediatika sebagai “juara tanpa mahkota”?

Tentu sah-sah saja ungkapan untuk meminimalkan dan mereduksi keterbantingan harapan semacam itu. Justru ketika dalam dua pekan terakhir sedemikian kuat euforia bangsa ini mengikuti penampilan tim asuhan Shin Tae-yong di Singapura.

Pertanyaannya, apakah sepak bola Thailand dan Vietnam memang “ditakdirkan” untuk lebih baik dari kita?

Dari Wikipedia dan tirto.id (26/2-2021), dijelaskan tentang makna takdir. Saya mengambil deskripsi tentang takdir muallaq, yaitu ketetapan Allah yang dapat diubah oleh umat manusia dengan wujud adanya ikhtiar atau usaha. Artinya, manusia diberi peran dalam mengganti atau mengubah takdir tersebut.

blank
Foto: dok/tangkapan layar

Produk Ikhtiar
Pemahaman itu menuntun kita untuk membangun logika tentang kinerja dan etos kerja.

Bersama coach STY, timnas Indonesia berlatih, menempa fisik, meracik taktik, dan mengonstruksi mentalitas. Ada hal-hal yang semula menjadi titik lemah berusaha ditambal, segi-segi yang merupakan modal potensial dieksplorasi; dan semua itu dikelola berbasis disiplin kinerja.

Hasilnya dirasakan dari performa tim dalam sejumlah pertandingan yang dilalui. Itulah produk ikhtiar mengubah keadaan.

Thailand, juga Vietnam pada 1960-an dan 1970-an pernah mengalami masa-masa di bawah level Indonesia. Ketika secara perlahan tapi pasti kedua negara bergerak menjadi kekuatan utama Asia Tenggara, pastilah level itu diraih melalui rangkaian ikhtiar perbaikan.

Bagaimana sistem pembinaan sepak bola Negeri Gajah Putih itu sekarang? Seperti apa kompetisi liga profesional dijalankan? Bagaimana sistem talent scout yang dilakukan klub-klub sepak bola Thailand melalui akademinya? Karakter permainan seperti apa yang dikembangkan dan akhirnya total dieksplorasi? Disiplin dan etos kerja seperti apa yang mereka kembangkan?

Hal-hal demikian itu harus kita adaptasi untuk mengubah nasib. Pada era 1960-an hingga 1970-an kita merajai turnamen-turnamen tradisi Merdeka Games, Kings Cup, Jakarta Anniversary Cup, dan Aga Khan Cup. Bahkan pada 1961 pernah meraih trofi Piala Asia U-19 sebagai juara bersama dengan Burma.

Bukankah itu adalah realitas sejarah? Dan, fakta prestasi itu tentu memberi keyakinan: ikhtiar mesti ditempuh secara konsisten, karena nyatanya pernah ada referensi keberhasilan.

Belum lagi, kita juga mencatat, siapa pun pelatih nasional, pada saat mulai menangani tim selalu dihadapkan pada persoalan ketidaksiapan fisik pemain.

Dulu, pelatih asal Moskwa, Anatoly Polosin fokus ke penempaan fisik, yang menghasilkan medali emas SEA Games 1991. Kini STY diribetkan program penggenjotan fisik, termasuk dengan mengontrol ketat menu makan pemain.

Dengan kata lain, kesiapan fisik tidak dibawa pemain dari klub masing-masing. Atau ini adalah fakta, klub-klub liga kita belum punya metode latihan fisik yang setara dengan kebutuhan timnas.

Dari rentetan assessment itu, terpetakan pesan nyaring, betapa banyak kondisi di seputar persepakbolaan Indonesia yang harus kita perbaiki. Elemen-elemen dalam sistem pembinaan mesti terkonsolidasikan oleh revitalisasi sikap dan budaya pembinaan prestasi.

Kita sendirilah yang mesti mengubah takdir, memperbaiki nasib dengan kegigihan kerja, dengan etos yang terjaga.

–Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah–