blank

Oleh : Ira Alia Maerani & Diva Umi Hanik

VIRUS covid-19 yang masuk di Indonesia pada sekitar bulan Maret 2020 mulai meningkat sehingga statusnya menjadi pandemi di berbagai negara. Keberadaan virus ini di Indonesia dari yang mulai 1 daerah meningkat menjadi seluruh wilayah. Adanya pandemi ini, mengharuskan pemerintah memberlakukan banyak kebijakan untuk menekan angka pertumbuhan virus ini. Contohnya social distancing, lock down, pembatasan sosial berskala besar dan lainnya.

Pemberlakuan kebijakan ini mengakibatkan banyak sektor-sektor terkena dampaknya. Mulai dari bidang ekonomi, sosial, pariwisata, manufaktur, transportasi, pangan dan lain-lain. Salah satu dampak yang dirasakan para rakyat adalah pada bidang ekonomi. Tidak sedikit perusahaan yang mulai kehilangan pendapatan dan bangkrut.

Dalam usaha menangani keterpurukan ini pula, banyak perusahaan yang mengambil kebijakan, yaitu pemutusan hubungan kerja, pemotongan gaji, atau bahkan gulung tikar. Dampak dari kebijakan tersebut membuat pendapatan para karyawan berkurang atau hilang. Padahal banyak  yang bergantung hidup dari gaji tersebut. Dampak negatif lainnya adalah munculnya berbagai kejahatan (tindak pidana) yang timbul akibat kemiskinan dan faktor ekonomi lainnya. Seperti: perampokan, pencurian, penjambretan, pembegalan, prostitusi, penjualan organ tubuh secara illegal, tindak pidana perdagangan orang (human trafficking)  dan sebagainya.

Peran yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus ekonomi seperti ini sudah banyak, contohnya pembagian bantuan sosial, bantuan kuota pendidikan dan lainnya. Namun sayangnya, kebijakan pemerintah yang baik ini tidak sepenuhnya sampai pada masyarakat.  Disinyalir terdapat penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power, abuse of economic power).

Lihat saja kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos). Masyarakat mempertanyakan empati para pengambil kebijakan terhadap derita yang sedang dialami rakyat. Dampak pandemi dengan banyaknya rakyat yang kehilangan pekerjaan alias di-PHK (Pengakhiran Hubungan Kerja) nampaknya dinilai tidak cukup membuat penglihatan para pejabat terbuka mata hatinya. Angka miliaran rupiah pun menggelontor ke dalam rekening pribadi mereka yang tersangkut kasus tindak pidana korupsi. Sebuah ironi  di tengah pandemi covid-19 yang menghadang. Dilema di tengah bangsa yang memiliki nilai-nilai Pancasila yang sejatinya menjadi pandangan hidup seluruh rakyat Indonesia. Tak terkecuali para pemimpin bangsa. Patutkah ini terjadi?

“Penjahat Berkerah Putih” (White Collar Crime)

Sepintas jadi teringat istilah “penjahat berkerah putih” ini ketika kuliah mata kuliah Kriminologi 25 tahun silam di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Dosen pengampu mata kuliah Prof. Dr. I.S. Susanto memperkenalkan istilah ini di kala itu. Istilah yang belum familiar di era Orde Baru.

Beliau menjelaskan tipe-tipe penjahat konvensional yang sudah kerap dikenal di masyarakat dengan tipikal fisik dan bentuk kejahatan yang dilakukan. Pembunuh dengan tipikal fisiknya yang bertubuh kekar, bentuk rahang yang kaku, sorot mata tajam dan berbagai bentuk fisik lainnya.

Lain halnya dengan “penjahat berkerah putih” yang biasanya dilakukan oleh kalangan “berdasi” yang memiliki jenjang intelektual mumpuni, jabatan dan kekuasan yang dimiliki. Akan tetapi kejahatan yang mereka lakukan memiliki efek luar biasa merugikan bagi perekonomian sebuah negara. Bahkan negara dapat dikatakan bangkrut atau kolaps akibat perilaku korup yang dilakukan oleh para koruptor, penjahat berkerah putih yang memiliki kekuasaan dan jabatan. Sebagaimana jargon terkenal pernah diungkap oleh Lord Acton yakni,”Power tends to corrupt, absolute power corruption absolutely.”

Trend “kejahatan berkerah putih’ ini pun semakin menarik untuk dikaji dalam tataran ilmu perundang-undangan. Sehingga pada tahun 1999 muncul produk perundang-undangan guna menekan tindak pidana korupsi. Undang-undang yang dimaksud adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No.  20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kejahatan ini sangat merugikan negara. Bantuan yang seharusnya untuk orang yang membutuhkan, malah menguntungan orang yang berkecukupan. Inilah contoh dari definisi yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Para petinggi negara yang seharusnya melindungi dan membantu rakyatnya malah disinyalir memberi kesengsaraan bagi rakyatnnya.

Apabila  merujuk pada ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 39, Pasal 52, Pasal 55, dan Pasal 79 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan  serta Pasal 8 jo Pasal 5 Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (“UU Wabah Penyakit Menular 1984”), dinyatakan secara jelas hal-hal apa saja yang menjadi hak warga yang wajib dipenuhi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah beserta instansi-instansi terkait saat terjadinya wabah penyakit menular, situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, dan berada dalam situasi Karantina Wilayah maupun Karantina Rumah maupun dalam status Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang meliputi:

  1. Hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis;
  2. Hak mendapatkan kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya;
  3. Hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan;
  4. Hak mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak oleh Pemerintah, yang mana pelaksanaannya melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pihak terkait;
  5. Bagi setiap orang yang datang dari negara dan/atau wilayah Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, ia berhak mendapatkan pelayanan dari Pejabat Karantina Kesehatan yang meliputi: (1) Penapisan; (2) Kartu Kewaspadaan Kesehatan; (3) Informasi tentang tata cara pencegahan dan pengobatan wabah; (4) Pengambilan spesimen/sampel; (5) Rujukan; dan (6) Isolasi;
  6. Hak mendapatkan ganti rugi akibat mengalami kerugian harta benda yang disebabkan oleh upaya penanggulangan wabah;
  7. Hak mendapatkan informasi Kekarantinaan Kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan masuk dan/atau keluarnya kejadian dan/atau faktor risiko yang dapat menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Tersirat tetapi jelas, bahwa perilaku korupsi bantuan sosial (bansos) ini melanggar hak-hak dasar warga saat situasi wabah terjadi. Sehinggga  jelas siapakah yang memperoleh keuntungan di balik pandemi ini? Siapakah yang semakin menderita di balik kucuran dana bansos yang seharusnya diterima oleh rakyat? Apakah rakyat yang tetap dibebani dengan beraneka pajak ini akan semakin buntung dan merundung kekecewaan?

Solusi Berdasarkan Kajian Keislaman

Kajian Hukum Islam memberikan pelajaran bahwa korupsi merupakan perbuatan tercela. Hal ini terkandung dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk larangan melakukan tindak pidana korupsi, antara lain:

  1. QS. An-Nisa Ayat 29

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَاۡكُلُوۡۤا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ اِلَّاۤ اَنۡ تَكُوۡنَ تِجَارَةً عَنۡ تَرَاضٍ مِّنۡكُمۡ‌ۚ وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَنۡـفُسَكُمۡ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيۡمًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

  1. QS. Al-Maidah Ayat 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقۡطَعُوۡۤا اَيۡدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَـكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ؕ وَاللّٰهُ عَزِيۡزٌ حَكِيۡمٌ

Artinya: “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

  1. QS. Al-Baqarah Ayat 188

وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

  1. QS. Al-Anfal Ayat 27:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَخُوۡنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوۡلَ وَتَخُوۡنُوۡۤا اَمٰنٰتِكُمۡ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Empat ayat Al-Quran di atas memang tidak menyebutkan kata korupsi, tetapi secara nilai yang terkandung melarang untuk melakukan itu, tidak boleh mencuri uang rakyat, menerima uang dengan cara yang batil dan tidak amanah dalam menjalankan amanat yang sudah dipercayakan. (Penulis: Dr. Ira Alia Maerani, M.H., dosen Universitas Islam Sultan Agung (Unissula); Diva Umi Hanik, mahasiswa Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang)

Suarabaru.ID