SEMARANG – Bayi kecil masih menjadi permasalahan kesehatan yang cukup tinggi di Indonesia. Angka kelahiran bayi kecil atau bayi prematur ini terjadi pada 29,5% dari total bayi yang lahir di Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2019). Bayi kecil memiliki tiga kriteria utama, yaitu berat lahir kurang dari 2500 gram, atau panjang lahir kurang dari 45 cm, atau dilahirkan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
Perkembangan bayi kecil dapat menjadi tidak optimal karena bayi kecil seringkali mengalami gangguan perkembangan syaraf, gangguan belajar, gangguan penglihatan, serta berisiko tinggi mengalami berbagai penyakit kronis di masa depan (Rao et al., 2014).
Gangguan kesehatan dan perkembangan yang terjadi pada bayi kecil dapat berdampak pada peningkatan biaya perawatan di rumah sakit maupun biaya pendidikan (Halimiasl et al., 2019). Penelitian oleh Vonderheid et al. (2016) menyebutkan bahwa bayi prematur membutuhkan perawatan khusus yang biayanya cukup tinggi, yaitu mencapai $9,740 sampai $52,998 atau 100 sampai 700 juta rupiah.
Selain itu, risiko rawat ulang juga meningkat 1,5 sampai 3 kali jika dibandingkan dengan bayi yang lahir sesuai dengan hari perkiraan lahir (Pezzati, 2014). Seyedfarajollah et al. (2018) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa 15% bayi kecil membutuhkan setidaknya satu kali rawat ulang selama periode bayi. Bayi kecil ini juga mempengaruhi 20% terjadinya stunting di Indonesia.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2019) menunjukkan bahwa 29,1% anak usia bawah lima tahun (balita) Indonesia mengalami stunting. Anak dengan kondisi stunting memiliki konsekuensi jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk mengalami peningkatan risiko penyakit yang berkaitan dengan nutrisi dan gangguan perkembangan syaraf (Boylan et al., 2017).
Dampak jangka pendek antara lain tidak optimalnya perkembangan kognitif, motorik, maupun verbal. Dampak jangka panjang yang terjadi pada anak dengan kondisi stunting antara lain penurunan kualitas fungsi reproduksi, kapasitas belajar, produktivitas kerja (Kemenkes RI, 2018).
Penelitian oleh Chakravarty et al. (2019) membuktikan bahwa anak dengan kondisi stunting pada saat dewasa akan mengalami 1,4% kehilangan produktivitas kerja jika tinggi badannya berkurang satu persen. Hal tersebut menunjukkan adanya ancaman bagi masa depan negara.
Pemerintah telah menetapkan permasalahan stunting sebagai program prioritas dengan tujuan untuk menurunkan angka kejadian stunting. Target yang ditetapkan oleh Presiden adalah penurunan angka kejadian stunting mencapai 40% pada tahun 2025 (Kemenkes RI, 2018). Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) menjadi salah satu upaya Pemerintah dalam menurunkan angka stunting.
Program ini menyasar kelompok ibu hamil dan bersalin, anak usia balita, anak usia sekolah, remaja, serta kelompok dewasa muda untuk menurunkan angka stunting (Kemenkes RI, 2016). Upaya pada kelompok usia anak dilakukan dengan pemantauan pertumbuhan secara rutin, penyelenggaraan stimulasi dini perkembangan, serta pemberian pelayanan kesehatan yang optimal. Selanjutnya upaya pada kelompok ibu hamil dan dewasa muda diharapkan untuk mencegah kelahiran bayi kecil.
Namun demikian, upaya tersebut masih belum signifikan dibuktikan dengan masih tingginya angka stunting maupun bayi kecil. Orang tua yang memiliki bayi kecil harus aktif terlibat sejak awal perawatan di rumah sakit. Keterlibatan orang tua akan bermanfaat terhadap kepercayaan dirinya serta kesiapan orang tua dalam merawat maupun mengemban tanggung jawab penuh atas perawatan bayi kecil di rumah (American Academy of Pediatric, 2020).
Tat dan Romana (2018) dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan perilaku perawatan bayi dengan status kesehatan bayi. Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang ibu untuk memiliki pengetahuan dan perilaku perawatan yang baik terutama pada bayi kecil.
Informasi terkait perawatan kesehatan ibu dan bayi telah disediakan oleh pemerintah dalam media buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) (Kementerian Kesehatan, 2020). Buku KIA juga menyediakan lembar dokumentasi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Pertumbuhan bayi dipantau menggunakan grafik, sedangkan perkembangan dipantau menggunakan pelayanan Skrining, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) pada anak.
Saat ini Pemerintah sedang mengembangkan buku KIA untuk bayi kecil yang dapat menjadi panduan bagi orang tua yang memiliki bayi kecil. Buku panduan tersebut dapat digunakan sampai bayi kecil berumur dua tahun, selanjutnya orang tua dapat menggunakan buku KIA biasa.
Buku KIA untuk bayi kecil berisi informasi penting yang diperlukan oleh keluarga terutama orang tua untuk merawat bayi kecilnya dengan baik. Salah satu informasi yang penting adalah materi terkait perawatan metode kanguru (PMK). Ariff et al. (2021) menyebutkan bahwa PMK dapat efektif dalam meningkatkan kelangsungan hidup bayi kecil.
Selain PMK, informasi terkait gejala dari tanda bahaya yang dapat mengancam kelangsungan hidup bayi kecil juga disediakan. Materi lain yang termuat dalam buku ini adalah air susu ibu (ASI) sebagai nutrisi paling tepat untuk bayi kecil, perawatan kulit pada bayi kecil, pijat bayi khusus bagi bayi kecil, cara menghitung usia sesungguhnya bayi kecil, serta kurva pertumbuhan yang disediakan menggunakan grafik fenton (grafik pertumbuhan khusus bagi bayi kecil).
Namun dalam kenyataannya tidak semua ibu memiliki buku KIA, hanya 66,2% yang tercatat memiliki buku KIA (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2019). Oleh karena itu, Buku KIA untuk bayi kecil yang belum disosialisasikan oleh Direktorat Kesehatan Keluarga (Ditkesga) diharapkan dapat dikembangkan menjadi e-KIA untuk bayi kecil agar dapat digunakan secara optimal sebagai dukungan informasi bagi orang tua untuk meningkatkan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi kecil agar terhindar dari kondisi stunting.
Penulis: Ns Nopi Nur Khasanah MKep SpKep An, (Dosen Dept. Ilmu Keperawatan Anak FIK Universitas Islam Sultan Agung)