blank
Foto: dok/manud

Oleh: Amir Machmud NS

// demikianlah cinta kuartikan/ tak ada kebencian/ tak ada pula penistaan/ pun bukan ungkapan permusuhan/ kau tetap kami/ kami tetap engkau/ menyatu di merahnya Teater Impian…//
(Sajak “Cinta Ole Gunnar Solskjaer”, 2021)

DAN, begitulah kami mengartikan cinta, Ole Gunnar Solskjaer.

Resapilah. Persoalannya bukan pada “pemecatan” dari kursi pelatih Manchester United. Bukan lantaran manajemen memenuhi tuntutan “Ole out” dari para fans yang tak lagi punya kesabaran menunggu kebangkitan.

Bukan, bukan itu.

Karena kami mencintai. Ya, karena kami menyayangi. Kau yang telah melabuhkan hati dan rasa. Kau yang menera loyalitas tiada terkira.

Dan, begitulah kami memaknai cinta. Terpadu antara sejarah, dedikasi, bukti prasasti, dan harapan-harapan. Kau ada di dalamnya, menjadi bagian dari keterpaduan itu.

Sepak bola adalah realitas sejarah, bukan? Adalah sejarah, ketika Ole Gunnar Solskjaer ada dalam bingkai pahit-manis perjalanan MU. Dia juga pencipta bagian dari sejarah agung klub yang siapa pun tak bisa menampik.

Dari trofi-trofi liga, Piala FA, dan ada puncak yang menyejarah: dialah sang penentu, yang bersama Teddy Sheringham melesakkan dua gol monumental pada detik-detik akhir final Liga Champion 1999.

Selamanya, Bayern Muenchen pasti takkan melupakan, betapa salah satu tokoh yang membalikkan keunggulan mereka adalah Solskjaer. Sungguh, itu malam jahanam bagi FC Hollywood di Camp Nou.

Tak hanya lantaran “gol pembunuh” itu dia dikenang. The Baby Face Assassin juga meniupkan euforia di awal kiprah kepelatihannya di Old Trafford pada 2018 saat dia meneruskan tugas Jose Mourinho.

Masalah Inkonsistensi
Sayang, laju David de Gea dkk terongrong oleh virus inkonsistensi. Setan Merah sering terhempas oleh hasil “yang enggak-enggak”. Performa setiap menghadapi tim “empat besar” juga kurang menjanjikan. Statistik akhir sebenarnya memperlihatkan posisi MU yang tak buruk-buruk amat. Dalam dua musim terakhir mereka finis di posisi atas, dan pada 2020 mampu melaju ke final Liga Europa.

Namun penyakit instabilitas memuncak di musim 2020-2021 ini. Kekalahan mengejutkan 0-1 dari Aston Villa, hancur-hancuran 0-5 dari Liverpool, dipermalukan Manchester City 0-2, lalu remuk 1-4 dari Watford adalah serangkaian alasan yang menjadi logis untuk sebuah keputusan yang mengakhiri hubungan.

Solskjaer sudah sulit dipertahankan!

Tapi, tentu bukan semata-mata karena keluarga besar Manchester Merah tak menyayanginya lagi.

Akhir sebuah kebersamaan seperti itu, dalam peta sepak bola, adalah narasi lain untuk mengartikulasikan cinta. Tak ada yang terhapus dari cinta antara pria Norwegia itu dengan “almamaternya”. Tak ada yang tak dihargai oleh sejarah klub terhadap salah satu senapatinya.

Chemistry klub dengan figur pelatih lebih mirip sebagai hakikat perjodohan. MU bertakdir dengan Alex Ferguson. Chelsea pernah merakit kejayaan bersama Mourinho, AC Milan dengan Fabio Capello, Bayern Muenchen berikat hati Juup Heynckes, atau Juventus dengan Antonio Conte.

Jejakilah sejarah: berjodohkah Chelsea dengan Frank Lampard, salah satu legendanya? Thiery Henry dengan AS Monaco, Juventus dengan Andrea Pirlo? Arsenal dengan Unay Emery? Barcelona dengan Ronald Koeman?

Bukankah semuanya tidak mudah? Pun, waktu — dalam timing maupun durasi — bukan jaminan. Apalagi jika mengandalkan sikap pragmatis yang seolah-olah berpijak hanya pada uang dan ketergesaan perilaku manajemen.

Solskjaer masuk dalam pusaran itu. Dia berjodoh dengan MU, sebagai pemain. Tetapi rasanya betapa alot menyatukan rekatan kimiawi taktikalnya dengan kultur penampilan Pasukan Theater of Dream.

Cinta menautkan hidupnya di klub ini. Katanya, seperti dikutip cnnindonesia.com, “Kalian tahu arti klub ini untuk saya, dan apa yang ingin saya capai di sini. Untuk klub, untuk penggemar, untuk pemain, dan untuk staf. Klub ini berarti segalanya bagi saya”.

Betapa pedih pesan perpisahan ini, “Bersama, kita adalah pasangan yang bagus. Sayangnya saya tidak bisa mendapatkan hasil yang kita butuhkan, dan ini adalah waktunya bagi saya untuk menyingkir”.

Sama-sama bernapaskan cinta, mungkin harus berbeda mengartikannya.

Dan, sungguh, siapa pun yang nanti menggantikannya setelah pelatih sementara Michael Carrick lalu pelatih interim Ralf Rangnick — bisa Zinedine Zidane, bisa Brendan Rodgers, bisa pula Laurent Blanc –, takkan ada cinta yang luruh.

MU tetap merinduinya. Dia juga akan selalu dan terus merindui habitat itu…

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola —