SUATU saat ada remaja berperilaku aneh. Tanpa sebab pasti, dia sembunyi di balik genthong di dapur sambil teriak-teriak dan merasa dikejar puluhan tentara kerajaan.
Kejadian itu diawali saat dia menjalankan tirakat atau riyadhah (olah batin) setelah menemukan secarik kertas catatan mantra yang kemudian diamalkan tanpa bimbingan guru.
Dari sisi metafisis, yang dia lakukan itu “rawan.” Ibarat orang awam saat sakit dan menemukan obat (tablet) di jalan. Karena ingin sembuh, tanpa didasari ilmu tentang obat dan konsultasi dengan ahlinya, semua obat itu lalu diminum, hingga overdosis.
Tradisi dalam belajar ilmu supranatural itu, untuk menjalankan tirakat atau olah batin, untuk amannya perlu diijazahkan atau mengonsultasikan konsep laku itu kepada guru atau siapa pun yang sudah pengalaman dengan keilmuan supranatural.
Ijazah, Wejangan
Tradisi ijazah atau konsultasi dengan ahlinya sebelum memelajari ilmu metafisika itu bukan kuntuk kepentingan (lahan) para guru, sehingga untuk mengolah batin, atau bermohon kepada Tuhan kenapa harus melalui perantara?
Menurut para ahli hikmah, ijazah atau “pengesahan” ilmu dari guru itu untuk keselamatan dan kemantapan hati yang akan belajar. Namun bagi yang sudah paham aturannya, hati sudah mantap, yakin, atau bahkan haqqul yakin, tidak masalah menjalankan ritual tanpa bimbingan guru.
Namun dalam proses awal belajar, yang berkaitan dengan riyadhah (olah batin) sebaiknya hati-hati, jangan sampai ada keraguan saat menjalani hingga mengundang was-was, karena itu diyakini mengundang bisikan “setan” dalam hati.
Suatu bacaan atau amalan yang dirangkum para guru yang kemudian diamalkan para siswa itu sudah melalui penelitian dan atau ujicoba. Maka, walau setiap orang bisa mengamalkan ritual sesuai keinginannya, tidak setiap orang memiliki keyakinan layaknya orang yang sudah lama bergelut di bidang itu.
Karena itu, tradisi mengijazahkan atau “pengesahan” dari guru kepada murid itu diperlukan. Apalagi jika pada amalan itu ada rangkuman ayat-ayat suci, terlalu riskan bagi awam jika belajar tanpa didampingi guru.
Tradisi ijazah itu tujuan utamanya untuk memantapkan hati, karena yang dipelajari itu berkaitan konsep dan kalimat baru, maka harus ada pembimbing. Ini agar bisa diukur berapa “dosis” dan aturannya sehingga untuk lebih amannya, perlu bertemu langsung dengan guru.
Manfaat ijazah juga untuk “seleksi kualitas pribadi” calon murid. Melalui pengalamannya, guru perlu menyeleksi, mendeteksi apakah ilmu yang akan dipelajari itu sesuai wadahnya atau nantinya justru akan menimbulkan masalah.
Karena itu guru perlu tahu berapa besar “kran” informasi yang harus dibuka, dan bagian mana yang perlu ditutup. Karena itu, berijazah kepada guru itu selain lebih cepat menyerap, juga untuk keselamatan saat dan setelah belajar, hingga ilmu yang dipelajari mudah “terekam” dan menjadi sandaran keyakinan dalam perjalanan spiritualnya.
Cukup Colek
Berijazah itu layaknya membeli motor baru dan belum paham seluk-beluknya. Hanya karena kran bensinnya menutup berbagai cara dilakukan dan tidak berhasil. Setelah dibawa ke bengkel, oleh montir cukup dengan sontek ringan dua jari, dan kran bensin yang semula tertutup lalu terbuka dan motor bisa melaju.
Seperti itulah analogi berijazah ilmu. Maka, apa yang diucapkan Guru, bisa menjadi awal keyakinan. Karena itu, mengijazahkan ilmu itu penting pada awal proses-proses belajar.
Setiap pribadi punya keyakinan dan kemampuan menyerap ilmu berbeda. Ada yang cukup membaca buku, atau mendengar informasi sekilas dari guru, hati sudah yakin, dan ketika diamalkan berhasil dengan baik.
Tentang keyakinan itu termasuk garis takdir seseorang berjodoh dengan ilmu. Maka, dengan sarana apapun, buku, mendengar, atau hasil dari nguping pembicaraan para guru, ilmu pun mampu melekat dalam hati.
Menurut ahli hikmah, ada yang disebut “waridatul ahwal” atau rahasia kerohanian. Seseorang yang mengalami peristiwa itu memiliki kemampuan memahami hal-hal yang bersifat rohani.
Karena itu, dalam kondisi tertentu, seseorang boleh mengikuti mata hatinya. Namun jika dia memiliki guru, lebih baik mengikuti petunjuk gurunya. Sedangkan bagi kalangan awam, mengikuti ‘kata-hati’ itu ada risikonya.
Tentang ilham, menurut Syeikh Abdulkadir Al-Jaelani, jika ada datang ilham, kembali kepada ajaran agama. Jika bertentangan, jangan dituruti, karena bisa jadi itu bisikan iblis. Dan salah satu tanda dari ilham (yang benar) itu, ditandai penerima ilham itu hatinya menjadi lebih tenang dan yakin.
Tanda lain, ilham itu datang berkali-kali layaknya wahyu yang turun kepada para Nabi. Namun demikian, mereka yang menerima ‘bisikan hati’ itu untuk tetap bersabar sampai Allah menuntun menuju keselamatan dan kemudahan untuk melaksanakannya.
Masruri, penulis buku, konsultan dam praktisi metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati