blank

Implementasi Nilai Sila Ketuhanan YME dalam Proses Pembelajaran

Oleh: Nuridin & Ira Alia Maerani

SEORANG mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) nampak gelisah di depan laptopnya. Ia sedang kuliah daring (dalam jaringan). Terdengar dosen memanggil nama mahasiswanya satu persatu guna presensi kuliah daring. Mengapa ia gelisah?

Ternyata namanya belum juga dipanggil. Padahal sayup-sayup terdengar azan panggilan sholat dhuhur berkumandang. Panggilan ILAHI untuk segera ke masjid untuk menunaikan sholat dhuhur berjama’ah bergelora dalam dadanya. Panggilan untuk segera ta’at pada perintah ALLOH SWT sebagaimana juga sesuai dengan implementasi sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi niat untuk segera ke masjid urung dilaksanakan mengingat namanya tak kunjung dipanggil dosen yang mengajarnya. “Waduh, nanti kalau ke masjid, namaku dipanggil. Padahal sudah dari jam 10 tadi bergabung via zoom meeting. Gimana ini?”. Kebingungan menghinggapinya.

Musyawarah di tingkat keluarga bersama orang tua terhadap problem di atas maka menghasilkan sebuah solusi sementara untuk membawa handphone (HP) ke masjid dan tetap menunaikan sholat berjama’ah. Handphone disetting untuk tidak terbuka speakernya agar tidak mengganggu jama’ah yang lain, seraya berharap semoga kebijakan akademik mengambil keputusan terbaik. Keputusan  untuk menghentikan proses pembelajaran sementara dan mempersilahkan mahasiswa (murid) untuk menunaikan ibadah sholat fardhu terlebih dahulu. Baik proses pembelajaran secara daring (online) maupun luring (luar jaringan, tatap muka, offline)

Ta’at Pancasila Secara Massif

Potret sekelumit kisah kuliah daring yang dialami seorang mahasiswa tersebut niscaya tidak akan terjadi apabila seluruh lembaga pendidikan ta’at dan patuh pada nilai-nilai Pancasila. Kisah “perang batin” yang dialami mahasiswa tersebut antara mentaati perintah ALLOH untuk segera menunaikan panggilan azan untuk sholat berjama’ah dengan segala nilai-nilai kebaikan dan keutamaan di dalamnya, terpaksa harus dinomorduakan dengan tuntutan duniawi. Meskipun ia sadar bahwa menuntut ilmu itu adalah hukumnya wajib. Namun bukankah waktu untuk menuntut ilmu itu lebih fleksibel? Artinya bisa dijadwal setelah waktu sholat terselenggara. Sementara jadwal waktu sholat sudah ditetapkan secara syari’ah dan terdapat keutamaan bagi mereka yang menjalankanya di awal waktu.

Latar belakang mahasiswa ini yang alumni pondok pesantren ditambah kehidupan rohani di dalam keluarga yang cukup membingkai dirinya untuk menjaga sholatnya. “Sholat adalah Tiang Agama,” demikian pesan guru dan orang tuanya.

Pesan berikutnya, ”Bacalah Al-Qur’an dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan ketahuilah mengingat ALLOH (Sholat) itu lebih besar keutamaannya dari ibadah yang lain.” sebagaimana ALLOH berfirman dalam Al Qur’an surat Al Ankabut Ayat 45.

Jenjang pendidikan sekolah setingkat menengah pertama dan menengah atas ditempuhnya di pondok pesantren. Pondok pesantren sudah sangat menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran. Implementasi sila Pancasila yang pertama terlihat dalam penanaman ibadah fardhu maupun sunnah. Berlandaskan pada Hukum Islam. Sholat fardhu 5 waktu dijalankan secara berjama’ah di masjid. Ibadah sholat sunnah seperti sholat tahajud, sholat dhuha pun diarahkan.

Setelah mandi pagi, para santri sholat tahajud dilaksanakan sekitar jam 03.00 hingga jelang subuh WIB di masjid. Saat sebagian banyak manusia terlelap, para santri sudah beribadah. Ta’at pada Sang Khalik, ALLOH SWT. Sebuah wujud implementasi sila Pancasila yang pertama.

Sholat tahajud dilanjutkan dengan sholat subuh berjamaah, berdzikir dan tadarus Al Qur’an. Hingga ditutup dengan sholat sunnah syuruq  dan sholat dhuha beberapa saat berselang (sekitar jam 06.30 WIB). Sekitar jam 07.00 WIB mereka sudah berada di dalam kelas untuk menuntut ilmu duniawi dan ukhrowi. Sebuah kondisi yang sangat kondusif untuk menuntut ilmu. Jelang azan dhuhur sekitar jam 11.30 WIB proses pembelajaran dihentikan, guna mememuhi panggilan sholat dhuhur berjama’ah. Setelah sholat dhuhur dilanjut makan siang.

Begitulah kurang lebih yang dijalani kehidupan  mahasiswa ini dalam proses pembelajarannya saat di pondok pesantren. Ketika hendak melanjutkan sekolah berlatar belakang keilmuan yang sesuai dengan ilmunya, pandemi covid-19 menghadang. Ia pun mencoba di PTN dan dengan izin ALLOH diterima. Kebahagiaan membuncah tatkala apabila proses pembelajaran berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sesuai harapannya yakni pada saatnya ibadah bagi pemeluk agama maka seluruh civitas akademika mentaatinya.

Sebagaimana amanah Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional  tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Nilai-nilai Pancasila sebagai sistem nilai dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Sejatinya nilai-nilai Ketuhanan YME; Kemanusiaan yang Adil; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tak terkecuali dalam kehidupan di kampus. Wilayah akademik yang sarat dengan nilai-nilai, etika, dan moral.

Penulis:

Dr. Nuridin, S.Ag., M.Pd. (Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unissula)

Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum, Unissula)

Suarabaru.id