Oleh: Idham Cholid
HARI ini, 24 Juli 2021, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo memperingati hari jadi yang ke-196. Usia yang sangat panjang, tentu juga sudah lebih matang.
Peringatan hari jadi yang jauh dari kesan meriah, apalagi mewah, sudah dua kali ini diselenggarakan di tengah situasi pandemi covid-19. Tentu yang paling penting, dengan momentum ini kita bisa memetik hikmah. Untuk apa menghelat acara meriah ketika rakyat sedang susah?
Jika menengok sejarah, Kabupaten Wonosobo yang berdiri pada 24 Juli 1825, di masa kolonial itu, memang tak lepas dari semangat perjuangan melawan penjajahan. Yakni, Perang Diponegoro (1825-1830), di mana Wonosobo dan sekitarnya menjadi benteng pertahanan yang sangat penting.
Salah seorang tokoh utamanya adalah Kiai Muhammad Ngarpah, atau yang kemudian dikenal dengan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Setjonegoro. Nama gelar yang diberikan oleh Pangeran Diponegoro, setelah berhasil memenangkan pertempuran yang pertama. Dari sinilah Pemerintahan Wonosobo pun dimulai.
Dalam sejarah tentang Wonosobo, kita bisa membaca lengkap hal tersebut. Tanpa kecuali, tokoh-tokoh yang mempunyai peran kesejarahan. Bahkan, juga tutur tinular tentang tiga orang pengelana yang babat alas Wonosobo pada abad ke 17, yaitu Kiai Kolodete, Kiai Karim, dan Kiai Walik.
Dari sana sangat jelas sebenarnya, Wonosobo tak lepas dari kiai. Peran tokoh agama inilah yang meletakkan fondasi terciptanya bangunan Wonosobo hingga saat ini. Inilah fakta!
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Demikian Bung Karno ingatkan kita. Tentu agar kita selalu mempunyai kesadaran historis. Tanpa kesadaran itu, kita tak bisa menapaki hari ini dengan baik. Apalagi merumuskan proyeksi ke depan lebih baik lagi.
Namun selain “Jasmerah,” untuk konteks sejarah Wonosobo khususnya, justru “Jashijau” harus benar-benar digarisbawahi. Jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama! Mereka pewaris para Nabi. Mereka lah peletak fondasi.
Maka, menggali nilai-nilai kebaikan harus terus-menerus dilakukan. Kreativitas tanpa batas. Proses yang tiada henti agar benar-benar menemukan relevansinya saat ini, juga kehidupan di masa depan. Bukankah para kiai pula yang mengajarkan kita untuk selalu mengkonservasi tradisi nilai-nilai lama yang baik, selain juga merevitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai baru yang lebih baik lagi (al-muhafadzatu ‘ala alqadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah)?
Dalam konteks itulah, nilai kejuangan yang telah diteladankan para kiai pendiri Wonosobo, akan selalu menemukan maknanya. Apalagi di saat situasi seperti ini. Jika dulu rakyat susah karena hidup terjajah, dan para kiai berjuang melawan penjajahan. Saat ini, kita menghadapi ujian yang tak ringan. Boleh dikata, hidup susah karena musibah.
Dengan begitu, bukan berarti kita menyerah. Kamus ulama tak mengenal rumus itu. Terutama para pemimpin, justru disinilah tantangan kepemimpinan yang sebenarnya. Terlebih jika memahami filosofi “al-faqatu busthu al-mawahib,” sebagaimana diajarkan kalangan sufi. Bahwa segala ujian merupakan hamparan anugerah.
Yang paling sederhana harus dipahami saat ini, anugerah itu adalah berupa kesempatan untuk terus menata diri, membangun jati diri, dengan merumuskan tidak sekadar panduan tetapi juga menjadi “cara pandang” yang tepat.
Saya pernah sampaikan, dalam menghadapi pandemi covid-19 ini misalnya, selain Prokes 5M yang harus ditaati, juga perlunya 5K sebagai protokol krisis. Karena saat ini kita memang tengah mengalami krisis.
5K dimaksud adalah Ketenangan hati. Dari hati yang tenang, pikiran juga akan terang. Tidak mudah panik. Lalu, Kepercayaan diri. Tanamkan keyakinan, kita bisa melewati semua ujian ini dengan baik. Selalu optimis.
Kemudian, Kejelasan sikap. Maksudnya, jangan terpaku dengan kebiasaan lama. Jangan pula mudah terpukau dengan yang dianggap baru. Harus selektif tapi solutif. Selanjutnya, Kepedulian kepada sesama dengan saling memotivasi, menyemangati, dan berbagi. Meskipun sekadar berbagi informasi, untuk saling menguatkan. Berempati pada setiap penderitaan.
Dan yang terakhir, Konsitensi tindakan. Disinilah perlunya berpikir jelas, bersikap tegas, dan tindakannya pun tuntas. Konsisten bukan berarti kaku, tetapi juga kreatif merumuskan solusi yang tepat.
Itulah cara pandang yang sangat kita perlukan sekarang. Apa yang kemudian menjadi tagline Bupati Afif Nurhidayat dan Wabup Muhammad Albar saat ini, yaitu ‘Sesarengan Mbangun Wonosobo’, merupakan formulasi yang tepat, dalam konteks cara pandang tersebut.
Meskipun tema itu sendiri bukanlah barang baru. Pada 2000 yang lalu kita mengenal istilah “Politik Kebersamaan” (collectivisme politics). Substansinya sama, mengembangkan prinsip-prinsip “kebersamaan” dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, dengan mengedepankan partisipasi masyarakat.
Tagline memang bukan sekadar slogan yang mudah untuk diucapkan. Lebih dari itu, ia menjadi identitas yang melekat. Mengikat. Sudah seharusnya menjadi tekad, semangat, dan komitmen bersama. Karena itu, sebenarnya tak sulit juga untuk melaksanakannya.
Dari mana memulainya? Sekarang inilah justru menemukan momentum yang tepat. Kekompakan, kegotong-royongan, dan kebersamaan semua kekuatan diperlukan. Jangan biarkan rakyat terlalu lama dalam ketidakpastian!
Akhir kata, Dirgahayu Wonosobo.
— Idham Cholid, warga Wonosobo —