Oleh: Amir Machmud NS
(”Jika PPKM diperpanjang dan hasilnya sama saja, maka akan dilanjutkan dengan adu
penalti…”
”Pakar Sarankan PPKM Darurat Diperpanjang sampai Manchester United Juara EPL”).
TEKANAN keadaan terkadang meletupkan katarsis dengan kemasan kecerdasan. Produk-produk meme dalam bentuk kelucuan seperti petikan dua contoh di atas dapat dijadikan contoh kreativitas menghibur diri di tengah impitan beban hidup.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat selama dua pekan kemarin — dan konon diperpanjang — memunculkan aneka rupa tanggapan. Rata-rata orang merasakan betapa berat hidup di tengah pandemi covid-19, baik secara sosial maupun (terutama) ekonomi.
Dampak pendapatan yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi kecil dan menengah (yang tidak punya gaji tetap) tergambar dari jerit hati mereka. Di lapangan, luapan kegelisahan itu banyak menimbulkan berbagai bentuk “benturan” dengan aparat kepanjangan tangan penguasa.
Di antara ungkapan kesuntukan itu, di banyak platform media sosial beredar meme, karikatur, foto, dan video-video lucu, tak sedikit pula yang menyerempet “saru”. Ada juga video-video atau produk youtube yang secara verbal menyampaikan perlawanan, kritik keras, dan argumentasi terhadap para pengambil kebijakan PPKM. Media massa pun menyuarakan perasaan publik lewat pernyataan akademisi, politisi, dan wawancara langsung dengan man on the street.
Produk pengungkapan kegetiran itu menyajikan aksen “kreativitas tentang ketidakberdayaan”, seperti dalam meme tentang adu penalti dan batas waktu MU juara Liga Primer. Di balik kegetiran termuat kecerdasan kontekstual.
Bukankah belum lama berselang kita terhibur oleh dua turnamen sepak bola, Copa America 2021 dan Euro 2020? Sejumlah pertandingan dua kejuaraan tersebut diwarnai dengan perpanjangan waktu, lalu setelah hasilnya juga buntu, diselesaikan lewat drama adu penalti.
Mengaitkan PPKM dengan menyinyiri MU juga menandai kecerdasan dan intelektualitas satire. Apakah pembuat meme itu fans Setan Merah, atau justru sebaliknya, meledek penggemar Manchester Merah menantikan sesuatu yang mungkin bakal lama terwujud? Realitasnya, sejak pelatih legendaris Alex Ferguson pensiun pada 2013, MU belum pernah lagi meraih trofi EPL.
Artikulasi Rasa
Dalam buku Sepotong Mimpi dari Rusia saya menulis, pembuat meme tentu tidak banyak menimbang perasaan ketika mengotak-atik aneka kemungkinan membuat sindiran atau cercaan. Seperti yang dijelaskan dalam Wikipedia, meme (yang biasa dibaca “mim“) adalah neologi yang dikenal sebagai karakter dari budaya, yang termasuk di dalamnya gagasan, perasaan, ataupun perilaku (tindakan).
Artikulasi gagasan dan rasa, itulah substansi meme untuk mengungkapkan kekecewaan, kekesalan, kemarahan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Ia menghadirkan narasi simbolik yang mendiksikan gambar sebagai “bahasa kritis”. Lebih mengungkapkan eksplorasi kreativitas merangkai kritik, mengutamakan kemasan, yang apabila dibahasakan secara lisan mungkin mudah membuat pihak yang disasar tersinggung.
Saya tulis pula dalam judul “Meme Messi, yang Lucu dan yang Haru” itu, verbalitas penggunaan simbol gambar untuk tujuan tertentu — meskipun itu adalah humor — bagaimanapun terikat oleh etika komunikasi. Pada sisi lain, dalam budaya demokrasi, respons terhadap kritik melalui meme akan menunjukkan seberapa siap kedewasaan seseorang, apalagi bagi tokoh-tokoh publik. Sebagai risiko budaya demokrasi, meme akan mengintai sebagai bagian dari budaya kritik (Amir Machmud NS, 2018).
Menurut Abdurrahman Wahid (alm), melawan melalui lelucon merupakan kesadaran, betapa humor punya kemampuan dahsyat pencerah di tengah kebekuan kekuasaan dan segala pilar penyangganya. Dengan humor orang bisa melintasi sekat-sekat ketakutan yang lazim melekat pada kekuasaan.
Lelucon dan bentuk-bentuk humor lain, kata Gus Dur, memang tidak dapat mengubah keadaan atas “tenaga sendiri”. Ini sudah wajar, karena apalah kekuatan percikan perasaan manusia di hadapan kenyataan yang mencekam kehidupan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan ideologi yang besar-besar pun tidak mampu melakukan hal itu sendirian, masih harus ditunjang oleh berbagai hal seperti agama, buruknya keadaan ekonomi, sentimen-sentimen primordial, dan seterusnya.
Dalam kumpulan kolom Melawan melalui Lelucon (2000), Gus Dur menegaskan, lelucon yang kreatif, tetapi kritis, merupakan bagian yang tidak boleh tidak harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultural suatu bangsa, kalau tidak ingin kehilangan kehidupan waras dan sikap berimbang dalam menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup sangat luas. Dera kepahitan dalam jangka panjang tidak mustahil akan ditundukkan oleh kesegaran humor.
Lewat konteks PPKM Darurat, Anda bisa menyimak kreativitas seperti dua contoh di bawah ini. Bukankah ini adalah artikulasi lucu-lucuan dalam kegetiran? Bukankah ini justru adalah aksen kewarasan kita?
(“Pokoke Pasrah Karo Merem”
“Biar aku saja yang pakai masker. Kamu cukup di rumah saja pakai daster”).
Belum lagi ekspresi-ekspresi “perasaan” dalam kemasan yang lebih verbal dan keras. Bagaimanapun, lucu-lucuan itu adalah perlawanan kultural, atau yang dalam beberapa segi, merupakan bentuk sikap politik. Seperti judul kolom saya pada 22 November 2017 di Harian Suara Merdeka, meme adalah “Perayaan Pendapat Publik”.
Sebagai bagian dari budaya demokrasi, teknik komunikasi lucu-lucuan yang kreatif pada masa PPKM Darurat ini adalah ungkapan “kedaulatan perasaan manusia”. Maka para pemimpin patut mengasah kepekaan, betapa rakyat sedang mengarungi dan mencoba mengurangi kegetiran kadaan dengan berlucu-lucu.
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah, penulis buku, dan pengajar Ilmu Komunikasi —