blank
Ilustrasi covid-19

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

JUDUL ini saya kutip dari sebuah meme sangat bagus dan faktual (dibuat oleh seseorang), serta menggambarkan tantangan riel penanggulangan pandemik Covid-19 karena terkait langsung dengan sikap orang.

Maksudnya, wabah Covid-19 saat ini sebenarnya sudah sangat nggegirisi keliwat-liwat; paribasane esuk waras sore lara; sore lara, esuk bisa kelakon mati.

Kendati begitu, masih banyak orang bersikap “Aku ora/durung percaya.” Bukti konkret sikap itu ialah semakin merebaknya kasus Covid-19 terbukti disebabkan oleh (lewat) kegiatan sosial,
seperti ziarah bersama, menyelenggarakan dan mendatangi hajatan.

Pertemuan-pertemuan bersama, dan sejenisnya; namun dari sisi lain kluster sosial seperti itu “ditentang” oleh kluster
pribadi dengan sikap: “Ah ora apa-apa,” atau “Aku iki waras-wiris,” bahkan tidak kurang sikap diri juwawa “Yen ana apa-apane, mengko aku sing tanggung jawab.”

Kita patut bertanya-tanya, mengapa masih banyak orang tidak/belum percaya bahwa virus ini berbahaya dan dapat menyerang siapa saja, padahal “korban berjatuhan” sudah dan
semakin banyak?

Secara ekstrem pembuat meme di atas bahkan menyindir, sementara terhadap hal yang sangat tidak pasti (contoh mendapatkan hadiah dari togel, nembus istilahnya) dipercayai oleh banyak orang.

Fakta yang jelas dan pasti (terjadinya pandemi Covid-19) dalam kehidupan sehari-hari disikapi oleh persepsi (menang atau nembus) dalam permainan togel, padahal peluang menang itu sangat-sangat kecil; jauh lebih kecil dibandingkan
dengan peluang kena virus.

Jarak Kultural Individu

Inilah yang saya namakan jarak kultural individu (personal culture gap) antara nilai-nilai sosial dan sikap individualnya. Sumber utama terjadinya jarak kultural itu ialah kegembiraan vs kesedihan, menyenangkan vs9 menyedihkan; oleh-olehan vs kudu kelangan; dan seterusnya.

Segala sesuatu yang bercorak memberikan hiburan, kesukaan, ada hadiah, seneng-seneng; secara personal direspons secara antusias. Maka bepergian bersama, kumpul-kumpul, dan kegiatan semacam itu 100 persen direspons baik-baik oleh 100 persen warga secara individual maupun komunal.

Baca Juga: Digawe Rame: 2G=2D

Sebaliknya, hal-hal yang menyedihkan, sakit, tombok, kudu bayar dan sejenis itu, umumnya direspons secara sangat berbeda-beda oleh 100 persen warga secara individual. Di titik inilah ungkapan yang sering terlontar ialah semuanya bergantung kepada tingkat kesadaran masing-masing.

Maka, karena sering dianggap bergantung kepada kesadaran masing-masing individu, masalah-masalah sosial yang sifatnya menyedihkan, kudubayar, kudu resikan, harus menerapkan 5 M dalam konteks menghadapi Covid 19, dll selalu saja mengalami kendala dalam penerapannya.

Sebenarnya ada “siasat” menghadapi sikap cuek agar dapat berbalik menjadi peduli, lagi-lagi ajaklah setiap individu itu seneng lan semangat. Contoh, dalam seruan pemerintah agar
warga masyarakat tetap bertahan di rumah dan jangan pergi-pergi; pihak pengurus Rukun Warga (RW) misalnya, dapat mengadakan lomba keluarga paling taat dan tetap tinggal di
rumah.

Seperti kita tahu, apa pun bahkan tanpa hadiah sekali pun, secara individual siapa saja senang mengikuti lomba. Maka, pihak RW (didorong oleh pemerintah kabupaten atau kota) sebaiknya didorong saja mengadakan lomba bagi masing-masing rumah tangga dalam hal taat lan sabrayat betah ing omah.

Intinya, usahakan setiap individu warga tetep seneng (syukur
seneng-seneng) dan cara yang dapat ditempuh bermacam-ragam. Lomba atau kontes “tanaman” dapat saja dilakukan; atau lomba menghias/menata kamar tamu.

Foto tanaman atau kamar tamu tertata dikirimkan ke panitia RW, dan pihak panitialah yang menilai. Pihak RW menyediakan hadiah pot bagus ngetren bagi pemenang lomba tanaman; dapat juga sediakan hadiah cat tembok untuk pemenang penataan kamar tamu.

Sekali lagi, justru dalam kondisi tintrim karena Covid 19 ini sehingga warga harus betah di rumah; adakan kegiatan yang gawe seneng yang dapat dilakukan di rumah tangga masing-masing.

Dengan cara seperti itu, diharapkan semakin banyak orang percaya bahwa Covid-19 ini memang sedang mengancam, tetapi di sisi lain tetap diupayakan ada kegiatan-kegiatan
menggembirakan/menghibur.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)