blank
Kepala DP3AP2KB Dra Retno Sudewi. Foto: Ist

SEMARANG (SUARABARU.ID) -Kepala DP3AP2KB Jateng Dra Retno Sudewi, Apt, M.Si, MM mengatakan, perkawinan anak pada dasarnya  bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan hak anak yang  berdampak sangat buruk.

Tidak hanya bagi anak yang menjalani karena  berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan fisik dan mental, tetapi juga bagi anak yang dilahirkan.

Perkawinan pada usia yang belum masanya, sangat berisiko. Bila punya anak bisa lahir prematur, mengalami gizi buruk, stunting dan bahkan penelantaran karena kurangnya pemahaman orang tuanya tentang pengasuhan.

Perkawinan anak juga berdampak pada masalah sosial yang lebih luas, antara lain ketimpangan gender karena melanggengkan siklus ketidaksetaraan gender dan meningkatnya penduduk miskin. Dalam masalah sosial meningkatkan  kekerasan pada perempuan dan anak, kemiskinan, eksploitasi.

“Program pemerintah yang terhambat diantaranya  upaya pemenuhan hak anak wajib belajar 12 tahun dan keluarga berencana, “ tandas Retno Sudewi

Melonjak

Menurut Retno Sudewi,  perubahan regulasi mengenai batas minimum usia yang diperbolehkan menikah menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, melalui UU  No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan  UU Perkawinan Tahun  1974, seharusnya dapat mencegah terjadinya perkawinan anak, kenyataannya di Jawa Tengah pada tahun 2020 justru mengalami lonjakan tajam.

Sebanyak 12.972 anak melakukan perkawinan. Laki-laki  1.671 dan perempuan 11.301. Perkawinan anak pada tahun 2019  berjumlah  2.049 anak. Sejak batas minimal usia menikah dinaikkan menjadi 19 tahun, permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama meningkat drastis. Pada tahun 2021, dari Januari s.d April sebanyak 4.472 anak telah mengajukan dispensasi kawin, laki-laki  582 dan perempuan 3.890.

Peraturan Mahkamah Agung No 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin memberi peluang terjadinya pernikahan bagi seseorang yang belum berusia 19 tahun karena kondisi khusus atau situasi yang mendesak.    Regulasi ini sebenarnya lebih ketat karena mengatur bahwa permohonan dispensasi harus disertai rekomendasi dari tenaga profesional, seperti psikiater, dokter, psikolog, pekerja sosial profesional, P2TP2A, Puspaga atau Komisi Perlindungan Anak.

“Rekomendasi dispensasi kawin  dilakukan untuk memastikan kesiapan individu secara psikologi, sosial, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Namun nyatanya praktik perkawinan anak masih saja terjadi, salah satu penyebabnya adalah karena masih terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai dampak buruk perkawinan bagi anak,” ujar Retno Sudewi

Hum