blank
Para pembicara dan moderator, seperti Dra Hj Mei Sulistyoningsih MSi, Dra Siti Wahyuni MM dan dr Robby Haryanto SpOG (dari kiri ke kanan), mampu membawa suasana webinar makin menarik. Foto: humaini

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Tingginya angka pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur, memunculkan sebuah usulan, perlu dibentuknya Satgas Pencegahan Kawin Bocah.

Lontaran itu muncul, dalam Talkshow ‘Jo Kawin Bocah dari Perspektif Kesehatan Reproduksi’, yang diselenggarakan Forum Puspa, di ruang zoom meeting DP3AP2KB, Jalan Pamularsih 28, Semarang, Selasa (25/5/2021).

”Ada 23 provinsi yang tercatat jumlah perkawinan bocahnya sangat tinggi,” kata Dra Hj Mei Sulistyoningsih MSi, selaku pemandu talkshow yang diikuti beberapa organisasi terkait permasalahan perempuan dan anak ini.

BACA JUGA: Kebutuhan Komputasi Makin Beragam, Tuntutan Produktivitas pun Makin Meningkat

Sebelumnya, Evi Widowati SKM MKes dari Unnes menyampaikan, dari survei sosial ekonomi Nasional pada 2019 mencatat angka perkawinan anak cukup tinggi, sebanyak 1,2 juta kejadian.

Ini masih ditambahkan, 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun, telah menikah saat usianya di bawah 18 tahun. Sedangkan laki-laki ada 1 dari 100 anak yang menikah di bawah usia 18 tahun.

”Presiden RI Joko Widodo menargetkan dan memberikan mandat pada Menteri PPPA, untuk menurunkan angka perkawinan di bawah umur, dari 11,21 persen menjadi 8,74 persen pada tahun 2024 nanti,” ungkap Evi.

BACA JUGA: Bupati Jepara Minta Kemungkinan Pemudik Susulan untuk Dicermati

Penyebab terjadinya perkawinan anak, menurut Sekretaris Pusat Studi Perempuan dan Olahraga FIK Unnes itu, karena tradisi atau adat, rendahnya pendidikan, perjodohan dan seks pranikah.

Dampak dari itu semua, para pelaku akan drop out sekolah, instabilitas keluarga, terjadinya KDRT, subordinasi perempuan serta kematian ibu dan anak setelah proses kelahiran.

Berdasarkan hal itu, akhirnya direkomendasikan perlunya pendidikan reproduksi yang komprehensif dan terpadu di sekolah. Ini meliputi aspek kesehatan reproduksi, disertai dengan tanggung jawab laki-laki dan perempuan atas tindakan seksualitas dan kesuburan mereka sendiri.

BACA JUGA: Kudus Kian Mengkhawatirkan, Sehari 152 Positif Baru dan 11 Meninggal Dunia

Selain itu juga, perlunya tanggung jawab moral dan sosial, yang diintegrasikan dengan pendidikan sains, agama, budaya dan muatan lokal lainnya.

Kemudian pada anak-anak dan remaja diberikan pemahaman, bahwa menikah seharusnya dilakukan pada usia yang tepat. Menikah bukan paksaan dan bukan jalan keluar dari kemiskinan.

Secara formal perlu juga dibuat Peraturan Desa (Perdes) dan Surat Edaran (SE) yang menyatakan, mencegah perkawinan pada usia anak ini telah didukung masyarakat.

Dalam webinar ini, hadir pula narasumber lain seperti dr Robby Haryanto SpOG dari Cito Klinik, Dra Siti Wahyuni MM (Sekretaris Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jateng).

Humaini