blank
Lionel Messi (Barcelona). Foto: barca

blankOleh: Amir Machmud NS

// takkan selamanya/ tanganku mendekapmu/ takkan selamanya/ raga ini menjagamu// seperti alunan detak jantungku/ tak bertahan melawan waktu/ dan semua keindahan yang memudar/ atau cinta yang telah hilang// tak ada yang abadi…//
(“Tak Ada yang Abadi”, Ariel Noah, 2004)

LIRIK lagu Ariel Noah saat masih bernaung di bawah label Peterpan pada 2004 itu menderetkan sejumlah kata kunci, “takkan selamanya”, “keindahan yang memudar”, “cinta yang hilang”, dan “tak ada yang abadi”.

Halo, guys… Kalian yang tengah “bucin” pada masa-masa itu, mungkin merasa terwakili oleh lirik-lirik khas Peterpan. Boriel mengusung filosofi, betapa cinta adalah keniscayaan yang membangkitkan “ada” dan “tiada”, “abadi” dan “fana”, “langgeng” dan “sementara”.

Namun, hanya soal kelanggengan cinta antar-anak manusiakah?

Saya kira tidak. Bahkan dalam konteks sepak bola, tanpa sadar kita sering berbicara atas nama cinta. Wilayah profesionalisme industri kompetisi itu terbukti tak bisa menepikan hati dan rasa.

Hampir pada sepanjang musim 2020-2021 ini, media dan netizen mengulik relasi hati Lionel Messi dengan Barcelona. Kita juga menjadi saksi ketercerabutan paksa cinta Luis Suarez yang dijual Barca ke Atletico Madrid.

Media tak berhenti menduga-duga, apakah Cristiano Ronaldo akan CLBK dengan Manchester United? Pada bagian lain, pembuktian loyalitas diperlihatkan oleh mereka yang kehilangan api cinta: Romelu Lukaku, Ashley Cole, dan Alexis Sanchez; terbuang dari MU, dan bersinar mengantar scudetto untuk si dia yang membuka hati, Internazionale Milan.

Spekulasi Mohamed Salah dan Sadio Mane “dibiarkan” untuk meninggalkan Liverpool, juga memberi gambaran tentang frasa “takkan selamanya”, atau “cinta yang hilang”. Atau jangan-jangan ada “keindahan yang memudar”?

Bukankah kita paham, dalam dua musim sebelum ini, Juergen Klopp sangat tergantung pada duo produktif itu? Salah dan Mane, yang mengusung humanisme dalam performa keseharian, menjadi representasi keberterimaan Muslim di Eropa. Pemain asal Mesir dan Senegal itu, bahkan pernah disebut-sebut sebagai ikon penepis Islamophobia di Inggris.

Tak hanya yang terkait pemain. Kini Ronald Koeman juga masuk dalam pusaran realitas “tak ada yang abadi”. Menandatangani kontrak dua musim, pelatih asal Belanda itu memberi trofi Copa del Rey untuk Barcerlona, namun pencapaian yang tidak oke di Liga Champions, dan kehancuran dalam lima pertandingan terakhir La Liga, membuat dia dispekulasikan meninggalkan Camp Nou lebih cepat. Apalagi legenda Barca era 1990-an itu, disebut-sebut bukan pelatih idaman Presiden Joan Laporta. Koeman lebih dekat dengan eks presiden, Josep Maria Bartomeu.

Perkiraan pintu yang samakah yang bakal menimpa Andrea Pirlo dalam kiprah semusimnya di Juventus?

Xavi Hernandez, legenda tiki-taka Barcelona menjadi sosok paling diinginkan untuk pulang dari petualangannya yang sukses bersama klub Liga Qatar, Al Sadd. Sama seperti awal penunjukan Pirlo, Xavi dipandang sebagai orang yang tepat, karena sangat paham tentang kebutuhan dan filosofi klub.

* * *

DALAM sepak bola memang tidak ada yang abadi. Pelatih dengan reputasi sepercaya diri Jose Mourinho pun mengalami. Mou adalah simbol naik-turun pencapaian, dari yang sangat puncak sampai ke titik nadir.

Perjalanan terakhirnya bersama Tottenham Hotspur — dipecat sebelum musim berakhir –, boleh jadi adalah catatan pahit bagi The Special One. Namun dengan segala kematangan pengalaman mengarungi industri kompetisi, dia sadar tentang makna “takkan selamanya tangan ini mendekapmu/ raga ini menjagamu”…

Cinta, yang berbalut hati dan rasa, menjadi paradoks dengan kenyataan betapa rekatan hubungan hanya diukur dari pencapaian. Trofi merupakan indikator yang menentukan aspek kualitatif tentang cinta.

Maka, percayakah Anda, ketika sejumlah pemain dengan percaya diri menyatakan, “saya menemukan rumah yang nyaman”, “cinta saya bersambut di klub baru”, “saya menemukan kembali kegembiraan di sini”, “saya akan menghabiskan sisa karier di klub ini”?

Di antara deret contoh, dan pasti akan terus bergulir di klub-klub mana pun, perjalanan Leo Messi adalah drama dengan skenario yang paling menyita energi.
Pertanyaan sederhana: dia akan bertahan atau memilih pindah klub, rupanya membutuhkan jawaban yang tidak sederhana.

Karier Messi yang sedemikian mulus di Camp Nou, sejatinya memuat kehidupan karier yang penuh komplikasi. Takkan semudah itu dia pergi dari La Blaugrana. Tak seenteng itu meninggalkan orang-orang dan lingkungan yang dia cintai. Tak sesimpel itu membayangkan, apakah dia bakal menemukan habitat yang senyaman Barcelona. Tak sesederhana itu pula memperkirakan, apakah dengan kemampuan ajaibnya dia mampu cepat beradaptasi dalam skema pelatih di klub-klub yang bukan Barca.

Percayalah, tak ada yang abadi. Dan, adakah yang mampu bertahan melawan waktu?

– Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng –