blank
Suasana pesrayaan Lomban tahun 1974. (Sumber :Khasanah Arsip Diskarpus Kabupaten Jepara )

Oleh : Hadi Priyanto

Konon tradisi larungan di Jepara telah berlangsung selama 206 tahun.  Sebab berdasarkan cerita tutur,  larungan sesaji berupa kepala kerbau tersebut telah dimulai saat Adipati Citrosomo VII berkuasa. Ia menjabat sebagai penguasa Jepara sejak tahun 1837 hingga 1857.

Adipati Citrosomo VII kemudian pada tanggal 18 Desember 1857 digantikan oleh Adipati Citro Wikromo. Bupati Citro Wikromo  yang berkuasa hingga tahun 1881  kemudian meneruskan dan bahkan mengembangkan tradisi larungan yang diadakan pada  hari kedelapan Syawalan. Konon hingga tahun 1868  tradisi lomban  dalam catatan  pemerintah Hindia Belanda baru diadakan di Jepara.

blank
Larungan sesaji kepala kerbau pada Lomban tahun 1974 (Sumber khasanah arsip Diskarpus Kabupaten Jepara )

Larungan  sesaji ini konon bermula dari kisah dua pejabat kadipaten Jepara yang akan ke Karimunjawa pada tahun 1855. Mereka naik perahu dari Teluk Jepara. Namun setelah berlayar beberapa waktu, datang badai yang sangat besar yang membuat  perahu mereka terombang-ambing.

Beruntung Ki Ronggo Mulyo dan Cik Lanang mengetahui peristiwa tersebut dan keduanya segera memberikan pertolongan hingga kedua pejabat tersebut berhasil diselamatkan dari amukan badai.

Dari peristiwa itu, kemudian pejabat kadipaten yang hampir tenggelam dan kedua tokoh dari Teluk Jepara dan Pulau Bokor yaitu Ki Ronggo Mulyo dan Encik Lanang, mulai  membuat sesaji kepala kerbau. Juga menggelar pertunjukan wayang sebagai ucapan syukur dan kegembiraan.

blank

Tentu dengan ijin Adipati Jepara Citrosomo VII.Sesaji kepala kerbau tersebut dimaksudkan agar Hyang Maha Kuasa melindungi para nelayan dari segala malapetaka di laut  dan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah  setiap tahunnya.

Selanjutnya,  mereka  memilih waktu untuk larungan yaitu tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Kuat dugaan larungan pertama kali diadakan adalah setelah Hari Raya Idul Fitri 1303 H, saat kedua pejabat tersebut nyaris  tenggelam. Atau satu tahun kemudian dan kemudian menjadi tradisi yang terpelihara sampai sekarang dan bahkan menjadi atraksi wisata yang paling menarik perhatian.

Ubo Rampe Sesaji

Walaupun sejak pertama kali dilakukan hingga sekarang ada banyak sekali perubahan acara, namun ada yang tidak berubah yaitu larungan  kepala kerbau beserta ubo rampe sesaji. Ubo rampe sesaji dan juga maknanya inilah yang sampai saat ini masih menjadi misteri.

Sebab ubo rampe sesaji ini diwariskan secara turun temurun mulai Mbah Badi yang mendapatkan petunjuk langsung  dari Mbah Ronggo Mulyo. Mbah Badi adalah juru kunci makam Mbah Ronggo Mulyo. Tradisi jenis-jenis  ini kemudian diwariskan kepada anaknya, almarhum Zaenal Arifin mantan Lurah Ujungbatu. Setelah  itu  kemudian diwariskan dan dilanjutkan anaknya yang bernama  Iskarimah bersama suaminya  H. Suwarno hingga sekarang. Zaenal Arifin meningal pada tahun 2015.

Jumlah ubo rampai sesaji ini 25 jenis yang terdiri dari kepala kerbau yang diikat dengan kain putih, ayam dekem,ayam bakar dan pisang raja sepasang.Juga ada kupat lepet, bubur merah putih, sego damar murup, sego janganan, sego nuk nuk-an 5, arang arang kambang, cengkaruk gimbal, cengkaruk uro serta  parem laut.

Jenis sesaji lain adalah  sawanan,sambel gepeng, sayur bening daun kelor, iwak gereh, paso kekep  yang berisi beras, gula, kopi, teh, jahe, kembang boreh, kembang telon, cowek dupo dan tikar pandan sebagai alas semua ubo rampe sesaji.

Sehari sebelum acara pelarungan sesaji diadakan, dilakukan  ziarah  ke makam Ki Ronggo Mulyo di Ujungbatu dan makam Encik Lanang di Kelurahan Bulu Jepara. Juga ada pagelaran wayang kulit di di Tempat Pelelangan Ikan Ujungbatu dan pagi harinya dilakukan doa dan pelarungan sesaji kepala kerbau dengan diiringi Gending Kebo Giro.

Penulis adalah Ketua Lembaga Pelestari Sejarah Jepara