blank
Gambar masjid Jepara tahun 1700 Masehi

Oleh : Ulil Abshor

Tradisi halal bi halal yang ada di Indonesia telah dikenal sejak lama. Tradisi yang telah mengakar kuat di kalangan umat Islam ini dalam rangka perayaan Idul Fitri .

Lalu, kapan tepatnya kegiatan halal bi halal ini pertama kali dilaksanakan dan benarkah tradisi Islami ini mulai dilaksanakan saat  Pangeran Ibrahim Karang Kamuning tinggal di Jepara?. Ia adalah  menantu  Kangjeng Sunan Ampel yang menikah dengan salah seorang putri suunan yang bernama Nyai Gede Panyuran.

Dalam beberapa literatur dapat kita temukan sejarah yang menulis tentang halal bi halal. Di kalangan warga Nahdlatul Ulama, ada sumber yang mengatakan halal bi halal dipopulerkan oleh KH. Wahab Chasbullah.

Ia salah satu Ulama berpengaruh dan kharismatik NU yang berasal dari Jombang, Jawa Timur. Hal ini dilakukan KH Wahab Chasbullah ketika pada 1948 terjadi  pertentangan di kalangan elit bangsa. Karena itu ia melakukan kegiatan halal bi halal untuk rekonsiliasi para tokoh.

Namun ada  sumber yang juga menyebutkan jauh sebelum KH Wahab Chasbullah mempopulerkan halal bi halal, di majalah Suara Muhammadiyah terbitan 1 Syawal 1344 /1926  memuat ucapan ‘Alal Bahalal’. Bahkan, dalam sebuah dokumen Muhammadiyah pada 1924 telah memuat artikel ‘chalal bi chalal’.

Penyebutan istilah halal bi halal juga termuat dalam sebuah kamus Jawa-Belanda karya Thomas Peagued yang disusun mulai 1926. Pada abjad ‘A’ disebut kata Alal be Halal bermakna acara bermaaf-maafan saat hari raya.

Benarkah berasal dari Jepara ?

Dalam sebuah dokumen yang lebih tua, istilah halal bi halal tercatat dalam naskah Walisanga. Ahmad Baso, seorang peneliti naskah Walisanga menyebutkan bahwa dalam naskah primer sejarah Walisanga dari riwayat Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada naskah Babad Cirebon kode CS 114 PNRI hal. 73 disebutkan:

‘Wong Jepara sami hormat sedaya umek Desa Jepara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan  sami anglampah “Halal bi Halal” sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kemuning”. ( Orang Jepara saling hormat semua perg i/ ramai  ke masjid desa Jepara untuk melakukan jabat tangan / halal bihalal  bersama, untuk datang mendekat kepada Pangeran Karang Kemuning.

Pangeran Ibrahim Karang Kamuning adalah tokoh  waliyullah berbasis di Jepara, bergelar Pandita Atas Angin atau Sunan Atas Angin, menantu Kangjeng Sunan Ampel karena menikah dengan Nyai Gede Panyuran atau ada yang menyebut Nyi Gede Pancuran, salah seorang putri Kangjeng Sunan Ampel.

Setelah Sunan Ampel meninggal, mereka pindah dan kemudian tinggal di sebuah tempat yang disebut Karang Kemuning di Jepara. Sementara wafatnya Sunan Ampel ditandai dengan dua candra sengkala. Dalam babad Gresik  candra sengkalanya adalah  Pandhita Ngampel Leno Masjid  atau tahun 1475 M.

Sementara pada tulisan Wiselius disebutkan candra sekalanya adalah  Ngulama Ngampel Lena Masjid atau tahun 1481 M. Dengan demikian halal bi halal di Jepara telah dilakukan pada akhir abad ke – 14, setelah Pengeran Ibrahim tinggal di Jepara.

Konon, tradisi halal bi halal tersebut digelar di Masjid Kauman Jepara. Namun, keberadaan masjid tersebut  belum diketahui kepastianya. Apakah masjid Agung yang ada sekarang di Kelurahan Kauman atau  di tempat lain. Sebab ada data foto masjid Jepara yang digambar tahun 1700 dengan arsitektur atap masjid tumpang tiga.

 

Namun menurut Dr Alamsyah M.Hum, pakar sejarah dari Universitas Diponegoro Semarang, terkait dengan  gambar masjid Jepara   tahun 1.700 belum ditemukan kepastian kapan dibangun. Bisa pada tahun 1.600 awal atau awal abad ke – 17.

Sebab pada sekitar tahun 1613, VOC  marah sebab  banyak prasukannya yang dibunuh oleh prajurit Jepara. Karena kejadian tersebut pasukan VOC kemudian membumihanguskan Jepara. Apakah masjid Jepara tersebut ikut dibakar atau tidak, belum ada  sumber informasi yang jelas.

Namun menurut Alamsyah jika ditilik dari bentuk arsitekturnya yang memiliki atap tumpang tiga, dapat diperkirakan  masjid tersebut terpengaruh  arsitektur kebudayaan Hindu.

Sementara benar tidaknya halal bihalal bermula dari Jepara menurut Alamsyah  selama ini belum ada sumber yang menulis tentang hal tersebut. Namun dalam perpektif sejarah, jika ada artikel sebelumnya  yang menuliskan  tentang dari mana halal bihalal dimulai dan belum ada yang mengoreksi sebagai rujukan, tidak apa-apa  bila ditulis kembali. Sebab halal bi halal dalam budaya Jawa sudah menjadi tradisi di banyak daerah.

Penulis adalah pemerhati sejarah Jepara dan wartawan SUARABARU.ID