Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Judul ini sangat berkaitan langsung dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini: Di satu sisi perubahan itu suatu keniscayaan, suatu kemestian, suatu hal yang pasti terjadi kapan pun dan di mana pun. Namun di sisi lain, siapa saja, wong pinter, wong ora pinter; wong sugih atau pun orang biasa-biasa saja, selalu cenderung menolak terjadinya perubahan yang tidak mustahil itu.
Aneh memang; dan benar-benar membuktikan bahwa dalam diri (pribadi) setiap orang, selalu terjadilah kontradiksi internal. Selalu pingin maju dan berkembang, tetapi selalu juga hatinya menolak perubahan yang akan membawanya ke kemajuan atau perkembangan itu.
Contoh teranyar, ialah apa yang sedang heboh di KPK saat ini. Mokal kalau ada orang menolak perubahan/perkembangan di KPK agar institusi itu semakin kokoh; namun begitu diadakan tes wawasan kebangsaan (TWK), – catatan, namanya tes pasti selalu ada yang lulus dan tidak lulus – , ramailah komentar orang terutama menyangkut mereka yang tidak lulus tes.
“Ora mungkin, mokal, si Badu ora lulus tes, mesthi disengaja kuwi,” dan tidak kurang yang cari-cari materi tes atau pertanyaannya. Atas satu dua pertanyaan (lisan, pastinya) dan ada pertanyaan yang dianggap “ora konek” nah … merebaklah berbagai “tuduhan” telah terjadinya mokelapah di tubuh panitia tes. Sambil getem-getem orang komentar: “Masak iya, wawancara KPK kok ditakoni wis duwe bojo durung?”
Curah Pengalamanku
Pengalaman empat kali menjadi panitia seleksi di sebuah komisi, dalam tes wawancara, saya tidak jarang bertanya “sing aneh-aneh” seolah-olah ora konek dengan tupoksinya kelak bila dia menjadi salah satu komisioner.
Jika ada informasi tentang calon itu sekitar “kondisi kekeluargaannya” (sebutlah ia baru saja bercerai), ora mokal aku takon pendapat dia tentang perceraian dan ada pengaruhnya tidak jika seseorang kelak duduk sebagai komisioner. Apa yang salah mendalami hal seperti itu pada saat wawancara?
Baca Juga: Kecelik Serik, Kecenthok Bengok-bengok
Apa yang salah mendalami pendapatnya tentang suatu status kekeluargaan dalam kaitannya dengan pekerjaannya kelak? Dalam konteks wawancara dan ingin mengorek pendapat, – untuk tahu pendapat atau posisi dia dalam suatu masalah – , sangat dimungkinkanlah asalkan tidak ad hominem (mengarah atau menyudutkan pribadi ybs).
Sering juga saya tanyakan latar belakang keikutsertaannya dalam suatu organisasi (ormas misalnya), atau hobinya, bahkan mungkin juga hal-hal yang tidak ia sukai. Anehkah bertanya semacam itu? Sama sekali tidak, asal konteksnya selalu dikaitkan dengan tantangan tugasnya ke depan, ora mokal takon hal-hal yang seolah aneh.
Mokelapah
Mokal mengandung arti (a) ora ana temenan, nglengkara, ora bisa klakon, dan (b) ora ketemu ing nalar. Sebaliknya, ora mokal, berarti bisa saja terjadi dan sangat mungkin masuk akal. Di samping mokal utawa ora mokal, ada jugatembung mokel.
Bacalah mokel seperti Anda membaca kalimat ini: “Marcel mengendarai sepeda onthel, naik tanjakan Gombel, membawa parcel.” Dan makna mokel ada dua, yakni mokah, medhot anggone pasa; atau isih tengah-tengah, durung samesthine.
Contoh, pulang duluan dari suatu perhelatan, dapatlah disebut mokel karena segera akan berangkat ke Jakarta, misalnya. Atau, ngundhuh/negor pisang kamangka durung tuwa banget.
Paling menarik dan sesuai dengan topik bahasan di atas, ana tembung mokelapahyang mengandung dua makna penting; satu, ora jujur, dan dua tumindak nganeh-anehi.Panitia penyelenggara TWK dapatlah kita soroti, apakah mereka mokelapah, ataukah benar-benar akademik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kalau saya ditanya seperti itu, saya memilih jawaban kedua, yakni mereka benar-benar akademik dan dapat mempertanggung-jawabkannya. Tegasnya, mereka tidak mokelapah.Kalau ada orang “top” atau berposisi direktur kok tidak lulus, itu wajar saja.
Bahkan saya pun, sangat mungkin tidak bisa lolos apabila ikut seleksi sebuah komisi padahal sudah minimal empat kali sebagai panitia seleksi.
Sikap terbaik, ialah: Ora usah terlalu sering mikir serba negatiflah!
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)