Kebiasaan Baru

Kebiasaan warga meninggikan jalan ini, rupanya kemudian menjadi rutinitas. Akibatnya, yang tidak punya biaya untuk meninggikan rumah harus menerima nasib. Di antaranya saya. Hal itu makin menjadi-jadi ketika menjelang pemilu. “Utusan” calon-calon anggota legislatif mendatangi pengurus-pengurus RT atau warga yang bisa menyampaikan misi kepada warga lainnya.

Para “utusan” itu menawarkan adanya “dana aspirasi” dari anggota DPR untuk meninggikan jalan. Tawaran ini memang umumnya disambut dengan antusias. Wajar, karean untuk meninggikan jalan gang tiap warga bisa kena wajib iur ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Tawaran dari calon anggota DPR yang masih menjabat itu pun disambut dengan gembira.

Dan, kita pun paham, pasti tawaran itu tidak merata. Dalam satu RW, mungkin hanya dua atau tiga RT saja yang kebagian. Lalu yang terjadi? Jalan di RT A lebih tinggi, sedangkan jalan di RT B lebih rendah. Padahal itu masih satu jalur.

Ini yang saya laporkan kepada Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, kala itu, saat berkunjung ke wilayah RW kami. Dalam upacara menyambut kehadiran Wali Kota Semarang yang Hebat itu, juga hadir bebeapa kepala dinas, dan beberapa anggoa DPRD Kota Semarang yang punya dapil wilayah Tlogosari.

blank
Rumah di Jalan Gajahbirowo, Tlogosari Kulon ini sebenarnya menghadap ke saluran air dan dipisangkan oleh jalan gang. Tetapi saat banjir tak jelas mana jalan mana saluran karena semuanya menjadi satu. Foto: wied

Mas Hendi dalam sambutannya menyampaikan, jalan Malangsari (dari arteri Soekarno-Hatta) sampai Dempel akan dicor. Warga bertepuk tangan, sementara saya tertunduk. Jalan itu nantinya akan menjadi sungai baru. Atau setidaknya, bila hujan air akan menggenangi kiri-kanan jalan cor baru itu.

Warga pun diberi kesempatan menyampaikan sesuatu kepada Wali Kota. Saya mendaftar, tetapi oleh “panitia lokal” dikatakan, “Yang mau usul sudah banyak. Pak Widi nggak kebagian.” O, ya sudah pikir saja. Dan ternyata mereka yang “usul” itu antara lain menyampaikan ada warga yang rumahnya tidak layak, mohon dibantu. Ya, yang ini sih aku masih oke. Tetapi tiba-tiba ada yang maju lalu usul, “Pak wali kami minta dibangunkan rumah pintar.” Waduh. Rumah pintar kok minta Pak Wali.

Kalau yang kayak gini, ya harus bangun sendiri, baru kalau bagus lapor Pak Wali biar dapat bantuan. Jatah “pengusul” versi panitia sudah habis. Tetapi Pak Wali Hendi bertnaya, “Ada lagi yang mau menyampaikan sesuatu?”

Langsung saya maju dan menyampaikan sesuatu walau tanpa mik. Yang saya sampaikan kepada Mas Hendi adalah tentang jalan yang naik-turun di wilayah kami. Saya sampaikan bahwa, jalan tidak rata itu akibat adanya dana aspirasi anggota DPRD yang ditawarkan ke wilayah RT yang satu sementara yang lain tidak. Saya juga menunjuk anggota DPRD yang hadir waktu itu, seorang di antaranya sekarang sudah almarhum.

Kemudian berikutnya saya sampaikan, Pemkot mbok jangan hanya memikirkan menaikkan jalan. Karena bila jalan dinaikkan, maka rumah-rumah di kiri-kanannya akan menjadi di bawah jalan. Banjir memang tidak menggenangi jalan, tetapi menggenangi rumah warga.

Dan, memang terbukti, meninggikan jalan tidak pernah menyelsaikan masalah. Tahun 1973, saya naik bus, dan busa menuju Terminal Bubakan. Jalan Agus Salim waktu itu banjir, air menggenang. Catat, itu tahun 1973.

Sekarang, setelah hampir 50 tahun, Jalan Agus Salim masih juga tergenang. Padahal, kalau kita mau menghitung, sudah ditinggikan berapa meter jalan itu sejak tahun 1973. Jalan Raya Kaligawe, berapa kali ditinggikan, berapa meter ketinggian jalan yang sudah dinaikkan? Nyatanya, sekarang masih saya banjir, dan tampah parah.

Jalan arteri Yos Sudarso yang relatif baru. Sudah berapa kali ditinggikan, dan sampai saat ini makin tergenang saja. Dan, tentu masih terus ada semangat untuk meninggkannya lagi. Itu pasti. Yang jalan kecil saja, lah, jalan perumahan di Genuk Indah misalnya.

Dulu jalan itu selalu tergenang banjir. Kemudian ditinggikan begitu tingginya. Hasilnya sekarang? Banjir lagi…. Banjir lagi… banjir lagi, meluap sampai ke rumah-rumah warga. Tengoklah rumah byang terabaikan, ndhekem tak berdaya. Yang punya biasa bisa meninggikan, yang tidak yang cuma bisa diam.