Oleh: Trimanah MSi
LEBIH dari 10 tahun Kabupaten Pekalongan didera masalah banjir berkepanjangan yang berdampak pada ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat. Sawah dan tambak yang dulunya menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat setempat, sekarang hilang terendam air.
Warga yang semula berprofesi sebagai petani dan petambak, terpaksa harus berganti profesi. Rata-rata menjadi buruh harian lepas, yang bekerja pada sektor-sektor informal, seperti kuli bangunan dan kuli di industri batik rumahan. Ada juga yang bekerja sebagai pemancing atau pencari ikan di sungai atau di genangan-genangan banjir. Tak sedikit yang menganggur.
Rumah tempat mereka tinggal rusak terendam air. Kondisi ini mendorong warga untuk melakukan pengurugan di rumahnya masing-masing. Pendapatan yang tak seberapa, banyak terserap untuk peninggian rumah. Belum lagi infrastruktur di lingungan tempat tinggalnya, juga mengalami kerusakan. Pusat layanan kesehatan, sekolah, jalan, jembatan, rumah ibadah, semuanya rusak.
Dana desa dan bantuan pemerintah sudah tak terhitung banyaknya untuk memperbaiki insfrastruktur ini. Karena, perbaikan demi perbaikan nyaris tidak pernah berhenti. Tahun ini diperbaiki, tidak lama kemudian sudah terendam air lagi. Begitu seterusnya.
Secara kasat mata, warga melihat bahwa air yang datang di musim hujan dan air gelombang pasang yang biasa disebut musim rob, adalah penyebab banjir. Mereka kurang memahami dengan baik, bahwa ada penyebab lain selain hujan dan rob.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri menyebutkan, penyebab banjir di pesisir utara Pekalongan sebagaimana juga daerah-daerah pesisir pantai lainnya adalah, karena adanya penurunan muka tanah (land subsidence), yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas pengambilan air bawah tanah dalam secara besar-besaran.
Untuk wilayah Pekalongan, penyedotan air bawah tanah dalam dilakukan warga karena air bawah tanah dangkal, dan sumur-sumur mereka telah tercemar. Kondisi ini diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang abai terhadap lingkungan. Budaya membuang sampah dan limbah secara sembarangan, telah mengakibatkan sistim saluran air menjadi tidak optimal. Saluran drainase dan sungai tersumbat oleh sampah dan limbah, menyebabkan air tidak dapat mengalir secara lancar menuju pembuangan akhir.
Ketika saluran air tersumbat dan tercemar oleh limbah, maka lambat laun mempengaruhi kualitas air sumur yang ada di sekitarnya. Air menjadi berubah warna dan rasa. Tidak jarang berbau kurang sedap. Tentu saja air seperti ini tidak layak digunakan, apalagi untuk dikonsumsi.
Untuk mengatasi permasalahan air itu, pemerintah dengan didukung Bank Dunia membuat program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas). Yaitu suatu program penyediaan air bersih untuk warga dengan menggunakan sumber air bawah tanah dalam.
Nah, inilah sumber masalah utama yang sebenarnya. Alih-alih ingin mengatasi suatu masalah, justru menimbulkan masalah baru yang tingkat kebahayaannya jauh lebih besar dari yang dibayangkan.
Land Subsidence
Air bawah tanah di kedalaman puluhan bahkan ratusan meter yang disedot terus-menerus oleh ribuan rumah warga selama bertahun-tahun, telah menyebabkan terjadinya kekosongan pori–pori tanah, sehingga tekanan hidrostatis di bawah permukaan tanah berkurang sebesar hilangnya air tanah tersebut. Secara teori, ini disebut sebagai land subsidence, yaitu turunnya permukaan tanah akibat pengambilan air bawah tanah secara besar-besaran.
Kondisi ini semakin memburuk, ketika pelaku UMKM yang memproduksi batik, ikut menyedot air Pamsimas dengan jumlah yang sangat besar. Sebagaimana diketahui, dalam proses pembuatan batik yang cukup panjang, air dalam jumlah yang banyak sangat diperlukan.
Ketika satu-satunya sumber air bersih adalah Pamsimas, maka mereka pun tak ada pilihan lain selain ikut menyedot air yang sebenarnya dibuat untuk sekala rumah tangga, bukan untuk usaha.
Dengan masifnya penggunaan air yang seperti tersebut diatas, maka tak heran bila kemudian menjadikan Pekalongan sebagai salah satu daerah dengan tingkat land subsidence tertinggi di dunia.
Menurut catatan Badan Geologi Kementrian ESDM, sepanjang 2020 saja, penurunan tanah terjadi sekitar 6-10 cm (CNNIndonesia.com). Bahkan menurut peneliti ITB, Heri Andreas, penurunan muka tanah di Pekalongan berkisar antara 8-20 cm per tahun. Dengan demikian, diperkirakan pada tahun 2036 Pekalongan bisa tenggelam (NewsOkezone.com).
Penyebab land subsidence sebenarnya bukan hanya karena masifnya penyedotan air bawah tanah, tetapi juga didukung beratnya beban yang ada di permukaan tanah, seperti gedung dan bangunan. Selain itu, menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, adanya tanah lunak di pesisir utara Pekalongan dengan ketebalan 40 meter dibawah permukaan tanah, yang membuat tanah mudah amblas atau turun.
Dengan mengetahui berbagai penyebab terjadinya land subsidence, harus ada langkah-langkah konkret yang dilakukan pemerintah, dengan dukungan seluruh warga masyarakat demi menghambat atau mengantisipasi semakin buruknya penurunan tanah di wilayah ini.
Pemerintah harus siap dengan berbagai aturan dan kebijaan yang mendukung penghambatan laju land subsidence. Pengeluaran IMB di wilayah pesisir utara harus diperhitungkan secara matang, sehingga tidak semakin menambah beban diatas muka tanah. Izin pembuatan Pamsimas harus disetop dan mulai dipikirkan sumber-sumber air bersih lainnya, selain dari bawah tanah untuk ketersediaan air bersih bagi warga.
Sedangkan warga yang saat ini sudah menggunakan air Pamsimas maupun yang belum, harus mulai memikirkan bagaimana caranya melakukan konservasi air dalam skala rumah tangga.
Pemerintah juga harus melibatkan setiap kelompok dan lapisan masyarakat, untuk mengambil peran dalam mengatasi permasalahan banjir yang melanda wilayahnya.
Peran Ibu Rumah Tangga Menghadapi Land Subsidence
Ibu rumah tangga adalah kelompok masyarakat yang paling banyak menggunakan air di rumah untuk menyelesaikan pekerjaan domestiknya. Oleh sebab itu, peran dan keterlibatannya sangatlah dibutuhkan dalam melakukan upaya pelambatan laju penurunan muka tanah.
Salah satu peran yang bisa dijalankan adalah dengan melakukan konservasi air di rumahnya masing-masing. Konservasi air dapat dilakukan dengan hal-hal yang paling mudah dan sederhana, misalnya mulai membiasakan menggunakan air seperlunya, mengawasi dan melatih anak-anak agar menggunakan air secara lebih bertanggungjawab sejak dini, dan beberapa tindakan pendukung penghematan air lainnya.
Konservasi air skala rumah tangga ini hanya bisa dilakukan, bila ada kemauan dari kelompok ibu rumah tangga untuk mengubah perilakunya dalam menggunakan air. Sedangkan kemauan hanya akan timbul bila ada pemahaman yang baik, mengenai permasalahan yang terjadi. Pemahaman atas suatu masalah akan mengubah sikap seseorang, baik itu secara kognitif, afektif, maupun konatif, dan nantinya bisa menuju kearah perubahan perilaku.
Sayangnya berdasarkan pengamatan penulis, pemahaman kelompok ibu rumah tangga di Pekalongan mengenai permasalahan air yang menyebabkan land subsidence masih sangat minim. Umumnya, mereka hanya mengetahui bahwa banjir yang melanda wilayahnya disebabkan oleh hujan dan rob.
Hal ini dapat dipahami, karena selama ini memang belum ada upaya dari pihak manapun yang berusaha menstimulus dengan memberikan komunikasi, informasi dan edukasi kepada mereka. Sikap seseorang mengenai sesuatu hanya akan berubah bila mereka mendapatkan stimulus.
Dalam studi psikologi komunikasi dikenal dengan istilah stimulus organism response. Yaitu dimana seseorang sebagai organism menerima stimulus berupa pesan-pesan komunikasi verbal maupun non verbal, yang kemudian akan menimbulkan respon tertentu. Sikap seseorang terhadap sesuatu adalah respon mereka atas stimulus yang mereka terima.
Respon ini sendiri ada yang berbentuk perubahan sikap, mulai dari munculnya kepercayaan dan pengetahuan (cognition), munculnya perasaan dan emosi (affection) serta munculnya kecenderungan untuk bertindak tertentu (conation). Dan pada tahapan lebih lanjut menjadi perubahan perilaku (behavioral).
Perubahan Perilaku Ibu Rumah Tangga
Sikap bukanlah bawaan lahir. Ia dapat berubah-ubah seiring dengan banyaknya stimulus yang diterima. Sikap tidak berdiri sendiri, ia akan selalu berhubungan dengan objek tertentu. Sikap mengandung unsur emosional dan motivasi. Sikap bisa diukur dan dipelajari. Oleh karenanya, para praktisi komunikasi dapat memprediksi dan menyusun strategi tertentu guna menumbuhkan sikap seseorang mengenai suatu objek yang nantinya bisa digerakkan kearah perubahan perilaku.
Dalam banyak kasus, perubahan seseorang sebagai respon atas stimulus hanya sebatas pada perubahan sikap, belum mengubah perilaku. Hal ini disebabkan karena ada faktor determinan internal dan eksternal, yang mempengaruhi perilaku seseorang.
Determinan internal berkaitan dengan karakteristik seseoarng yang bersifat given atau bawaan, seperti jenis kelamin, tingkat kecerdasan dan tingkat emosional. Sedangkan determinan eksternal berkaitan dengan lingkungan fisik, budaya, sosial, politik ekonomi, dan lain sebagainya. Ketika kedua faktor ini tidak mendukung perubahan sikap, maka sulit untuk menghasilkan perubahan perilaku.
Faktor determinan yang sifatnya bawaan, sulit diintervensi. Tetapi faktor determinan yang datang dari lingkungan seperti budaya, sosial ekonomi, dapat diupayakan oleh berbagai pihak melalui berbagai strategi. Perubahan perilaku yang sifatnya individu, akan tidak efektif untuk mengatasi permasalahan sosial seperti banjir. Permasalahan itu harus dapat diatasi bersama-sama, dengan melakukan perubahan perilaku secara bersama-sama pula, dari mayoritas warga yang menghadapi masalah.
Ibu rumah tangga yang tinggal di pesisir Pantai Utara Pekalongan adalah kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik dan dapat dipelajari. Mereka umumnya bukan perempuan pekerja di sektor formal. Pendidikannya rata-rata SMP dan SMU. Mereka bersifat egaliter, sebagaimana umumnya masyarakat yang tinggal di pesisir Pantura yang tidak banyak unggah-ungguh, sebagaimana perempuan pada umumnya yang tinggal di Jawa bagian selatan.
Kita juga bisa menelusuri lebih jauh untuk menemukan kecenderungan mereka dalam menerima pesan informasi, dan informasi seperti apa yang menarik mereka untuk ditindaklanjuti.
Kita juga bisa mempelajari pola komunikasinya seperti apa, dan apa saja yang mempengaruhi pola komunikasi mereka. Dengan memahami siapa, bagaimana dan seperti apa kelompok ibu rumah tangga ini, maka dapat dipilih cara atau pendekatan yang paling tepat dengan saluran komunikasi yang tepat, untuk mempengaruhi sikap dan kecenderungan yang dapat mendorong mereka berperilaku sebagaimana yang diharapkan.
Dalam satu studi awal yang dilakukan penulis mengenai sikap ibu rumah tangga mengenai permasalahan land subsidence dan banjir, menunjukkan hasil bahwa rata-rata mereka belum mengerti apa itu land subsidence, mengapa land subsidence bisa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. Minimnya pemahaman mereka mengenai land subsidence, sedikit banyak mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam menggunakan air.
Selama ini kelompok ibu rumah tangga hanya memperhitungkan banyak tidaknya penggunaan air berdasarkan tagihan yang harus mereka bayar. Untuk penggunaan air dalam rumah tangga, rata-rata biaya air Pamsimas yang harus mereka keluarkan diperkirakan adalah Rp 30.000-Rp 80.000 per bulan. Mereka belum mempertimbangkan faktor lingkungan, ketika menggunakan air Pamsimas untuk keperluan mencuci, memasak, dan keperluan lainnya di dalam rumah tangganya.
Sepanjang mereka masih mampu membayar, maka tidak terlalu menjadi masalah. Sedangkan faktor lingkungan belum menjadi pertimbangan, ketika mereka menggunakan air. Karena mereka memang belum mengetahui, bahwa perilaku mereka dalam menggunakan air berkontribusi pada proses terjadinya penurunan muka tanah yang memperparah banjir.
Dan ketika mereka akhirnya mengetahui, belum serta merta mengubah perilakunya dalam menggunakan air. Butuh proses panjang yang sifatnya psikologis didalam diri individu-individu dalam kelompok ibu rumah tangga ini, sehingga nantinya mereka mau atau tidak mau mengubah perilakunya.
Untuk itulah diperlukan upaya yang terus-menerus, terstruktur, sistimatis dan konsisten dalam mempengaruhi dan melibatkan mereka dalam permasalahan land subsidence. Sehingga kelompok ibu rumah tangga yang selama ini hanya diberikan peran sebagai konco wingking di dalam rumah tangganya, ternyata memiliki potensi peran yang sangat besar dalam mengatasi permasalahan banjir.
Trimanah MSi, Dosen Ilmu Komunikasi Unissula Semarang, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Usahid Jakarta