Oleh: Wandes Palullungan
MEDIA massa menjadi lidah panjang informasi pemerintah kepada masyarakat. Maka pers yang bebas merupakan representasi pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari, seharusnya menjadi momentum bagi insan pers, pemerintah, dan masyarakat untuk merefleksikan makna kebebasan/kemerdekaan pers.
Kemerdekaan pers dilindungi dalam konstitusi, yang melekat dalam tafsir Pasal 28 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pers Nasional tidak dikenakan pembredelan/penyensoran, dan pers memiliki hak mencari, mengelola, dan menyebarluaskan informasi.
Ketentuan-ketentuan tersebut menyiratkan pandangan, bahwa kemerdekaan pers bersifat absolut, tetapi tetap berlandaskan etika jurnalistik. Namun benarkah demikian? Apakah pasal-pasal tersebut betul-betul memberikan kebebasan pers?
UU 40/ 1999 sering disebut sebagai karya agung reformasi. Dalam UU ini tersirat pasal-pasal tentang kebebasan berpendapat dan pers, serta fungsi dan peran pers sebagai lembaga penjernih informasi bagi masyarakat.
Sejarah Kelam
Jika memperhatikan kembali sejarah dan perjalanan kebebasan berpendapat dan pers di negeri ini, tentu masih membekas di hati masyarakat, terutama yang pernah merasakan bagaimana harus hidup di tengah keterbelengguan berbicara/berpendapat.
Kini atmosfernya sudah benar-benar berbeda. Setiap individu atau kelompok bebas dengan lantang dan keras berpendapat, mengemukakan berbagai aspirasi yang menurut mereka memenuhi apa yang disebut sebagai kebenaran. Tetapi, benarkah demikian?
Nyatanya, pembredelan masih terjadi. Misalnya Majalah Lentera karya jurnalistik dari mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi UKSW, Salatiga. Tindakan itu terjadi pada 18 Oktober 2015, terhadap edisi ketiga tahun 2015 dengan judul ‘Salatiga Kota Merah’.
Konten majalah ini menyajikan pembantaian PKI yang terjadi di Kota Salatiga. Yang menjadi ironi, pembredelan dilakukan oleh kepolisian, kampus, TNI, dan wali kota.
Dalam kasus ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberikan dukungan, agar tim redaksi Lentera memberikan perlawanan terhadap pihak-pihak yang melakukan pembredelan.
Menurut Iman D Nugroho, Ketua Bidang Advokasi AJI kala itu dalam diskusi publik ‘Menguak Tabir di Balik Pembredelan Majalah Lentera’ (Jakarta, Minggu 25/10/2015), majalah yang diterbitkan oleh mahasiswa Fiskom UKSW itu, sudah memenuhi syarat-syarat produk pers.
Iman menambahkan, siapa pun yang tidak sependapat dengan produk pers, diberi jalan untuk menggugatnya, bukan dengan membredel.
Yang menjadi pelik, penyelesaian masalahnya hanya setengah-setengah, terutama penyelesaian melalui jalur konstitusi. Kasus ini hanya dibahas dalam beberapa diskusi. Hanya beberapa media yang menyoroti kasus ini, termasuk Tempo edisi 18 dan 19 Oktober 2015.
Padahal ini merupakan bentuk pencederaan kemerdekaan berpendapat dan pers sebagaimana diatur dalam UU Pers. UU ini seharusnya berlaku untuk semua pihak, baik itu institusi, pemerintah maupun masyarakat sipil.
Diskriminasi
Wajah lain yang mencederai kebebasan pers terlihat dalam tindak kekerasan terhadap wartawan yang meliput demonstrasi penolakan Undang-undang Ciptakerja, di beberapa daerah. Melalui surat tanggal 10 Oktober 2020, Dewan Pers memberikan dukungan kepada wartawan yang menjadi korban kekerasan.
Dewan Pers juga mengecam aksi aparat yang melakukan pengecaman, kekerasan verbal, serta pengrusakan alat-alat kerja. Menurut Tempo edisi 9 Oktober 2020, AJI mencatat tujuh wartawan yang menjadi korban tindakan kekerasan aparat. Salah satunya Tohirin, dari CNNIndonesia.com. Tohirin mengakui, ponselnya dirusak ketika sedang meliput demonstran yang ditangkap di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
Kekerasaan terhadap wartawan berulang kali terjadi, namun sama seperti pembredelan pers mahasiswa, tidak ada penyelesaian yang signifikan. Pasal 8 UU Pers mengamanatkan, ‘Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapatkan perlindungan hukum’. Namun pasal ini seakan-akan dikesampingkan, hanya dianggap sebagai teks.
Era Jokowi
Di masa pemerintahan Presiden Jokowi, banyak penghargaan yang didapatkan. Jokowi memberikan kebebasan luas kepada siapa pun untuk berekspresi. Masyarakat beropini, terutama di ruang virtual yang menjadi tempat bertemu, bertukar pikiran/gagasan, opini maupun kritik.
Belum lama berselang, lini massa ramai memperbincangkan pernyataan Presiden yang meminta, agar masyarakat lebih aktif memberikan kritik kepada pemerintah.
Tuluskah pernyataan itu? Sejumlah kalangan menilai, Presiden kurang serius akan hal itu. Dalam catatan, beberapa orang yang pernah memberikan kritik malah berujung dipolisikan. Tempo.co mencatat, salah satu yang dipolisikan ialah Dhandy Dwi Laksono. Ia aktivis jurnalis, yang cuitannya banyak mengangkat mengenai isu kerusuhan di Papua terkait rasialisme yang dilakukan aparat. Dhandy pun ditangkap pada 27 September 2019, sebagai tersangka kasus ujaran kebencian.
Dapat kita nilai, pelaksanaan kebebasan dan kemerdekaan pers di Indonesia masih setengah-setengah. UU Pers tidak terlalu diperhatikan, padahal secara nyata mengatur kebebasan berpendapat sebagai HAM dan dilindungi UU.
Pemerintah seharusnya lebih terbuka terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Kritik masyarakat sangat penting, mengingat Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi demokrasi.
Bagi masyarakat, mengembang harapan besar bahwa kebenaran bisa disampaikan melalui pers, bukan melalui ruang-ruang virtual. Inilah warna-warninya. Pers yang baik merupakan lidah panjang pemerintah kepada rakyatnya, sekaligus menjadi mata masyarakat yang jeli terhadap penguasa.
Wandes Palullungan, Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga