Oleh: Sandra Junita
HARI-HARI ini, dunia internasional sedang ramai memperbincangkan tentang kemelut politik di Negeri Seribu Pagoda, Myanmar. Banyak negara yang menyerukan perdamaian, juga mengecam agar Myanmar segera menyelesaikan perselisihan antara sipil dan militer melalui dialog damai, sebagai bentuk sikap menghormati prinsip-prinsip demokrasi.
Tindakan militer yang disebut-sebut oleh banyak ahli dan pengamat politik sebagai kudeta itu, membuat keadaan stabilitas politik Myanmar terganggu. Usaha Myanmar dipandang sia-sia dalam membangun negara yang demokratis sejak 2008.
Berdasarkan catatan sejarah, kudeta militer ini bukanlah kali yang pertama selama sekitar 50 tahun di bawah kekuasaan militer. Sejak 1962, militer sudah beberapa kali mengambil alih kekuasaan pemerintahan.
Karena desakan dari Uni Eropa, pada 2015 untuk pertama kalinya Myanmar melaksanakan pemilu yang terbuka dan transparan, dengan kemenangan mutlak sekitar 80 persen partai Aung San Suu Kyi, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Untuk kali kedua, pemilu dilaksanakan pada 2020.
Kronologi Kudeta Militer
Melansir tirto.id, kudeta militer merupakan upaya perebutan kekuasaan secara paksa oleh pihak militer. Sejak 2015, Aung San Suu Kyi dan NLD telah memimpin Myanmar sebaga produk pemilihan umum. Pada 2020, masa jabatan Suu Kyi berakhir, maka diadakanlah pemilu kedua. Pemilu kedua dilaksanakan pada 8 November 2020. Pemilu berjalan lancar dan kondusif.
Beberapa hari kemudian pada 11 November, USDP -partai yang didukung militer Myanmar- menilai, proses pemilu tidak jujur. Banyak terjadi kecurangan. Akan tetapi komisi pemilu atau UEC menyatakan, tidak ada indikasi kecurangan sama sekali.
Menurut tirto.id, NLD memenangi Pemilu 2020 dengan perolehan kursi parlemen 346 dari total 491, mengalahkan Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP). Pada 27 Januari, Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing memperingatkan, konstitusi akan dihapuskan jika tidak diikuti. Hal ini dimaknai oleh berbagai pihak sebagai ancaman kudeta.
Televisi milik militer mengumumkan pengambilalihan pemerintahan pada 1 Februari 2021, disusul pemblokiran internet dan media sosial, yaitu Facebook. Tak hanya menutup akses informasi, militer juga menangkap Aung San Suu Kyii dan Presiden Win Myint dengan tuduhan melakukan sejumlah pelanggaran.
Pihak militer kemudian menyatakan status darurat nasional, dan meminta UEC untuk mengadakan pemilu ulang. Tindakan pengambilalihan ini dianggap sah oleh militer, dengan berpedoman pada aturan Konstitusi Pasal 417 Tahun 2008 dengan alasan adanya ancaman terhadap pemerintahan Myanmar.
Peran Indonesia bagi Myanmar
Jika melihat lebih jauh, demokrasi adalah sistim penyelenggaraan negara yang kedaulatannya ada di tangan rakyat. Kekuatan terbesar ada pada rakyat. Jika rakyatnya lemah dan kurang kritis, maka pelaksanaan demokrasi akan sulit diwujudkan.
”Dari 54 juta penduduk Myanmar, 70 persen tinggal di desa, dan sumber penghasilannya sektor tradisional,” ujar Dinna Prapto Raharja, pendiri Synergy Policies.
Masyarakat Myanmar sebenarnya memiliki kekuatan untuk melakukan revolusi, tetapi karena tingkat pengetahuan yang rendah, akhirnya juga membuat semangat demokrasinya mati. Masyarakat seolah-olah menerima apa saja yang dilakukan pemerintah. Hanya beberapa saja yang mampu mengkritisi, tetapi tidak akan bermakna jika tidak bersatu.
Sumber CNN Indonesia, Dinna Prapto Raharja mengatakan, Myanmar sangat membutuhkan bantuan dari negara-negara sesama penganut demokrasi. Maka Indonesia seharusnya bisa berbuat lebih. Jika negara-negara lain seperti Amerika Serikat mengecam akan konsekuensi yang akan diterima militer, Indonesia tidak perlu ikut-ikutan, tetapi kita harus mengulurkan tangan, memberi bantuan.
Indonesia menganut sistim politik luar negeri yang bebas aktif. Artinya, memiliki prinsip dan ikut serta aktif dalam mengupayakan perdamaian dan hubungan internasioanl dengan menghormati kedaulatan tiap negara. Sistim ini lahir berdasarkan pengalaman bangsa Indonesia yang pernah dijajah, sehingga politik Indonesia berorientasi pada kebersamaan serta mengedepankan untuk hidup bersama secara damai (Ian Montratama, Quo Vadis Politik Luar Negeri Indonesia: 2017).
Kemelut politik Myanmar merupakan permasalahan internal, tetapi Indonesia bisa melakukan dialog dan memberikan pengaruh kepada mereka, terutama militer untuk segera berdamai. Indonesia memiliki hubungan yang cukup baik dengan Myanmar, karena kitalah yang membawa negeri itu bergabung ke dalam ASEAN.
Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia memiliki peran untuk ikut membantu meredakan ketegangan yang terjadi di sana, mengingat tujuan utama ASEAN adalah untuk menciptakan kedamaian, keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai dialog bersama. Perwujudan dialog ini bisa dilakukan dengan diskusi-diskusi. ASEAN menjadi mediator.
Kita bisa belajar, kudeta bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Prisip-prinsip demokrasi seharusnya dihormati. Menjaga aman stabilitas politik juga penting bagi sebuah negara, karena berhubungan langsung dengan stabilitas ekonomi.
Betapa penting masyarakat untuk selalu kritis dan berperan aktif dalam mengontrol pemerintah. Bagi negara demokrasi maupun yang sedang dalam tahap transisi, partisipasi politik merupakan hal yang sangat penting.
(Artikel dihimpun dari bergagai sumber).
Sandra Junita, Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga